Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified
Showing posts with label Info Buku. Show all posts
Showing posts with label Info Buku. Show all posts

Friday, December 6, 2013

SULUH

SULUH
buku kumpulan puisi berbahasa lampung
Penulis: Fitri Yani
©2013 Penerbit LampungLiterature
ISBN: 978-602-14191-1-3
Cetakan pertama: November 2013
100 hlm, 14X21 cm
Desain sampul: Devin Nodestyo 

Kumpulan puisi ini telah memakan waktu yang lumayan lama dalam penulisannya, selama itu pula, saya menemukan beberapa hal berharga dalam mempelajari bahasa pertama yang saya terima dari tradisi lisan keluarga saya.

Bahasa ini mengenalkan saya kepada beberapa kebiasaan serta tradisi masyarakat Lampung yang unik dan kompleks—khususnya masyarakat Lampung Barat, semua itu coba saya akrabi hingga ke lapis yang lebih dalam. Saya mendengar suara-suara bijak dan pesan yang tersembunyi dari para orang tua, kenyataan-kenyataan hidup muda-mudi yang begitu luas, juga upacara-upacara dan permainan-permainan masa kecil yang membuat saya tertawa dan terkadang merenung—betapa setiap orang selalu memiliki sebuah ruang sunyi untuk menyimpan kenangan.

Di sini, saya menuliskan beberapa keadaan, pelajaran, pengalaman, cerita, serta impresi yang menurut saya menarik untuk dituliskan. Meski dalam proses menulis puisi-puisi ini saya terkadang kesulitan mencari padanan kata dan bentuk bakunya, sebab kamus-kamus bahasa Lampung yang saya miliki ternyata tak banyak memuat diksi-diksi yang saya gunakan, semoga kelak kamus-kamus itu akan menjadi lebih lengkap. Dan sesungguhnya kumpulan puisi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu saya sangat terbuka dengan koreksi dan masukan dari teman-teman.

Buku ini tidak akan terbit tanpa adanya dukungan dan kasih dari banyak pihak. Maka saya selalu ingin menyampaikan rasa terimakasih kepada orang-orang ini, yang selalu menjadi bagian dalam perjalanan saya: Ari Pahala Hutabarat—guru  sastra saya yang sejak tahun 2009 lalu memprovokasi saya untuk menulis puisi dalam bahasa Lampung, Agit Yogi Subandi, dan sahabat-sahabat di Komunitas Berkat Yakin; Alexander GB, Yulizar Fadli, Devin Nodestyo, Kiki Rahmatika, Arman AZ, Dina Amalia. Juga untuk keluarga yang saya kasihi—dari merekalah bahasa dan puisi-puisi ini lahir, dan inilah yang dapat saya persembahkan.

Pada akhirnya saya tahu bahwa saya telah memulai. Semoga buku ini menjadi buku yang layak dibaca pada masa yang semakin banal ini, di mana isu akan punahnya Bahasa Lampung masih begitu hangat dibincangkan.

Tabik!


Wednesday, July 13, 2011

Memasuki Taman "Sebait Pantun Bujang"


Judul : Sebait Pantun Bujang

Karya : Agit Yogi Subandi

Penerbit : Dewan Kesenian Lampung, desember 2010

Tebal : 48 halaman


DI sebuah taman, saya menyaksikan bunga-bunga mekar, daun-daun gugur, pengunjung yang duduk di bangku kayu, serta penjaga taman yang tekun. Saya melihat kehidupan, saya menemukan harmonisasi terhimpun menjadi kesatuan yang romantik, seperti itulah saya menemukan kesan terhadap puisi-puisi di dalam buku ''Sebait Pantun Bujang'', karya Agit Yogi Subandi.

Kelahiran karya sastra selalu akan menyuarakan zamannya, menjadi penanda dan cermin bagi zamannya. Demikian pula kelahiran buku kumpulan puisi ''Sebait Pantun Bujang'' yang diterbitkan Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung Desember 2010 lalu. Ia akan menjadi penanda dan cermin tersendiri bagi sejarah dan lingkungan tempat puisi-puisi itu lahir, mengutip Penyair Jerman Rainer Maria Rilke dalam tulisannya ''Letters To A Young Poet'', suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar, dari cara ia berasal.

Saya akan memulainya dengan keberagaman tema di puisi-puisi Agit Yogi Subandi yang terhimpun dalam buku kumpulan puisi ''Sebait Pantun Bujang'' yang ia tulis dalam kurun waktu 7 tahun dan memuat 23 puisi ini. Begitu banyak tema yang saya temukan, seperti taman dengan berbagai peristiwa yang muncul di dalamnya, ada perjumpaan bunga-bunga mekar dengan kumbang, perpisahan daun dengan tangkai, berbulirnya embun di pagi hari, dan lain sebagainya. Setiap penulis tentu memiliki ciri tersendiri dalam mengolah tema yang berangkat dari wawasan, pandangan hidup dan komitmen manusiawi si penulis. Dan tentu saja proses berpuisi Agit Yogi Subandi tak lepas dari kerja keras pencariannya selama ini. pencarian akan suara asli, Tuhan, kemanusiaan dan hubungan-hubungan yang tercipta di antara keduanya.

Ah, saya ingat sajaknya yang berjudul Taman Flamboyan, sajak yang ditulis dengan kefasihan dan konsep yang matang. Membacanya, saya seperti dibawa ke dalam sebuah dunia ciptaan yang memasalampau.

....

Taman ini, taman yang menggigil. Gigilnya, tangan penyair yang gagal mengasah

lancip batu jurang untuk menghujam jantungmu.

(Taman Flamboyan, hal.12)

Pertemuan saya dengan sajak-sajak Agit berlangsung dalam sebuah lalu lintas yang sibuk. Ada banyak penafsiran yang bekerja. Saya melihat bahwa penyair mencoba menghadirkan tokoh-tokoh yang dihadapkan pada kehidupan yang garang serta tak ramah, tokoh-tokoh yang berada dalam pasar dan industri, hiruk pikuk politik dan segala macam transaksi. Ia menghadirkan kota sebagai suatu peristiwa yang dinamis, "siapa yang akan mencatat pertemuan? Bahkan kota lupa nama kita.." (Melankolia Kota, Hal. 45). Ia menggambarkan kehidupan sebagai labirin "Di dalam labirin ini, aku seperti pencari. pencari pintu keluarku sendiri.." Ia menggambarkan kehidupan yang komplek melalui permainan labirin: ada pintu masuk, dan pencarian pintu keluar. Barangkali pintu keluar itu adalah kematian, barangkali, saya tak berani menyimpulkannya, sebab Agit menghadirkan sajak itu dengan permainan dunia tanda.



Modern

Para penyair zaman modern mencari prinsip-prinsip perubahan, seperti yang ditulis Octavio Paz dalam The Other Voice, Estetika perubahan menekankan segi-segi karakter historis dari setiap puisi. Puisi yang dimulai sekarang tanpa awal, sedang mencari titik potong waktu, suatu titik pertemuan. Dan di kumpulan sajak ini, saya tak menemukan kesaklekan, tulisannya senantiasa mengalami perubahan. Namun dari sekian banyak perubahan itu, saya menarik satu garis merah yaitu Agit punya kehendak dan kecenderungan untuk bercerita. Ia mengutamakan peristiwa di dalam sajak-sajaknya. Simak saja beberapa sajaknya yang berjudul ''Taman Flamboyan, Tanjungkarang, Labirin, Kepada Lina, Petani Kata, Menulis Sajak, Seseorang yang Hendak Mengeluarkan Biji Matanya'', dan ''Melankolia Kota''.

Saya juga menemukan struktur-struktur yang komplit di puisi-puisinya. Ia mengolah kenyataan dan gejala dengan sentuhan emosional, dan memberikannya napas puitis. Saya melihat Agit menjelma ke dalam sajaknya sendiri, sebagai si pencipta, si pencari dan pengembara yang sederhana. Ia seperti peziarah di tengah kota, mampir di rumah makan, melewati pintu-pintu pertokoan, kadang tergoda pada gemerlap lampu di teras-teras yang redup-terang. Lazimnya pengembara, ia banyak mencatat dan menemukan kehidupan lain yang tersembunyi di hamparan gurun, keluasan samudera, gamang perkotaan, dan di sebuah taman. Dia adalah penyair yang banyak menyoal tentang penemuan-penemuan baru dari pengembaraannya melalui pemilihan bahasanya, kesatuan bunyinya, dan kepekaan metafora-metafora yang diusungnya.

Tapi, apa yang berbeda dalam sajak-sajak Agit Yogi Subandi di buku ini, pengembara yang nyaris muncul di setiap tempat, ia mengusung keindahan yang masih penuh dengan misteri. Ia memandang tragedi alam dan manusia dengan berjarak. Seperti pada sajak Interlude yang digubahnya ''sungai-sungai dihisap/ hewan-hewan mengembara ke ladang-ladang basah/ yang mati: dipanggang birahi matahari/.

Satu lagi ciri dari sajak Agit, ia seperti bertutur kepada seseorang. Tak ada sajaknya yang menurut kesan saya semacam solilokui. Ia selalu mengajak orang lain untuk menyimak ceritanya. Sajak ''Tanjungkarang'' adalah sajak terpanjang dan tentu saja amat sulit untuk dibacakan, sajak itu bermain di batas rawan antara ironi dan kemuraman.

...

subuh lepuh. matahari bagai serpihan kaca yang terlontar dari langit. di jalan, kusaksikan dada yang menggelembung kuning, meletup pada terik, sentuhan pertama. pun begitu seterusnya.

(Tanjungkarang, hal. 15)

Agit menciptakan sajak yang bersih dan penuh misteri. Meski seperti kata Ayu Utami, menulis sajak adalah perjuangan melahirkan sesuatu yang mungkin ditolak, namun Agit telah berani memelihara kesederhanaan dan kejujuran sastra yang menghubungkan kita kembali dengan kehidupan dan kemanusiaan. Saya kembali diingatkan bahwa melalui puisi, ada sebuah penghiburan bagi mereka yang menderita dan bagi mereka yang tak pernah lagi bertanya apakah masih ada keindahan dan ketenangan di tengah-tengah musibah yang melanda. Saya selalu percaya, bahwa di ruang nalar dan hati, ada sesuatu yang masih pantas mendapat tempatnya sendiri. Dan menulis sajak adalah memilih. Agit memilih taman kecil di mana kehidupan lain bertemu dan menyusun dirinya sendiri.

Penutup tulisan saya ini, akan saya kutip sajak ''Sebait Pantun Bujang'', yang barangkali mampu menghadirkan suatu perasaan yang masih berada dalam keheningannya; akasia hijau tersepuh/ bunganya cemara kering rapuh/ mengapa bunga tak kunjung jatuh/ hingga angan berubah keluh.



* Fitri Yani


Penulis puisi, tinggal di Bandarlampung. Buku kumpulan puisinya: Dermaga Tak Bernama (2010).


sumber: www.balipost.co.id

Tuesday, May 10, 2011

Menanam Benih Kata


Jika kamu suka menulis sajak atau puisi, dan ingin belajar... buku ini sangat cocok dan boleh dibilang wajib kamu miliki. Buku ini unik, kocak, mengungkap bagaimana menulis dan mengapresiasi puisi. tetapi disajikan seperti sebuah novel, ada kisah dan tokoh2nya. tapi tetap, ini buku yang isinya bagaimana menulis puisi, tapi kamu boleh...... mengganggapnya sebagai sebuah novel.... Bukunya enak dibaca, dengan bahasa yang ringan....pokoknya seru...kalau ga percaya baca sendiri ya...

Data Buku
Judul : Menanam Benih Kata
Penulis : Ari Pahala Hutabarat.
Tebal Buku : 284 Halaman
Harga buku = Rp. 50.000,00 (terbilanglima puluh ribu rupiah)
tidak termasuk ongkos kirim.

Kalau tertarik dan ingin membeli; silahkan pesan di inbox ya
atau sms/telp ke nomor Alexander GB; 0812-725-33337

Terimakasih
Komunitas Berkat Yakin Lampung



"Buku ini merupakan secangkir keringat selama hampir 20 tahun bergelut dengan puisi, buku perdana sebagai bentuk sumbangsihnya pada dunia perpuisian Indonesia, dari seorang sederhana Ari Pahala Hutabarat, guru muda bagi beberapa penyair lain (Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Lupita Lukman, Fitri Yani, Agit Yogi Subandi), yang berisi semacam panduan, mungkin lebih tepatnya kita sebut saja resep menulis puisi yang selama ini telah diterapkannya secara lisan kepada segelintir nama-nama di atas.

Sebagaimana dikatakan penulisnya pada bagian prakata, buku ini adalah sebentuk provokasi, terutama bagi para sahabat pelajar SMA, mahasiswa serta guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah, baik SMP mau pun SMA, agar lebih nekat dan berani mencintai dunia kepenulisan, khususnya puisi. Mengapa provokasi? Kenapa tidak pakai istilah yang lebih mulus, misalnya motivasi?

Mungkin fakta di lapangan selama hampir 20 tahun yang ditemukan penulis bukanlah seseorang itu kurang motivasi untuk menulis, sebaliknya, banyak orang yang di malam sunyi diam-diam mengambil pena lalu menulis namun malu untuk terang-terang mengaku atau justru takut salah dan dibilang jelek sehingga tidak kunjung mulai menulis, sehingga yang dibutuhkan adalah sebentuk provokasi agar para pembaca buku ini tergerak menjadi lebih nekat dalam menulis, rock and roll saja tanpa beban, berkarya secara elegan dan kritis, serta didorong oleh gairah jiwa yang romantis.

Meskipun mengandung resep-resep penulisan, bentuk penyajiannya tidak serta-merta seperti buku penuntun praktikum ilmu alam yang ditulis rinci dari A-Z, dari aturan main pertama hingga ke-100 tentang bagaimana menulis puisi. Setiap orang punya kebutuhan berbeda-beda, tidak semua orang bisa memakai rumus yang sudah banyak dipakai orang lain.

Mungkin inilah yang melandasi mengapa bentuk penulisan buku ini mirip dengan novel, sebuah karya yang membimbing pembaca untuk menyebrangi sungai, mendaki tebing, mengarungi sehamparan padang ilalang bersama lima orang tokoh murid (Budi, Latief, Bedul, Robert dan Wagino) didampingi gurunya (Mbah Bob) yang hadir sebagai narasi, yang bila dibaca dengan rileks sambil minum kopi atau teh hangat, akan sampai juga pada pengertian tentang ‘bagaimana menulis’ ke dalam benak para pembaca.

Berikut sedikit cuplikannya:

Sungguh, memahami dan menulis puisi itu sesungguhnya gampang dan mengasyikkan.  Mengapa? Karena pada puisi tak bisa kita beri definisi yang jelas atau tolok ukur yang pasti tentang apa definisi puisi dan beginilah langkah-langkah yang pasti untuk memahaminya.
            Kelonggaran dari ketakpastian definisi dan tolok ukur ini seharusnya membuat setiap orang  merasa asyik saja saat ia ingin menulis puisi atau memahami puisi. Lalu, mengapa ada kesan selama ini—kalau memahami sajak itu sulit, apalagi untuk menuliskannya? Padahal itu cuma mitos yang dibuat oleh para, terutama guru-guru di sekolah, untuk membuat kita berpikir lebih serius lagi ketika mengapresiasi sastra.
 Sungguh, memahami  dan menulis puisi itu gampang dan mengasyikkan. Tapi, untuk sampai pada momen yang mengasyikkan itu—pertama-tama pembaca haruslah mencintai mahluk yang bernama puisi itu—atau paling tidak bersikap rendah hati dalam usahanya mengenal puisi.
            Syarat pertama dalam memahami puisi adalah ‘menikmati’. Kalau pembaca tak merasa nikmat, maka bisa dipastikan usahanya mengenal lebih lanjut akan tersendat-sendat.  Dan untuk menikmati dibutuhkan kerelaan pembaca atau apresian untuk membuka hati dan perasaannya kepada objek yang akan ia nikmati.
             Semua bentuk dari karya seni—pertama-tama dibuat oleh penciptanya dengan bahan baku ‘perasaan’, barulah kemudian ia menitipkan pikiran-pikirannya kepada ciptaannya tersebut. Demikian juga para penyair ketika ia membuat sajak.  Perasaan atau emosinyalah yang lebih dahulu mengetuk atau menghantam ulu hatinya, barulah kemudian sederet kata-kata menyusul dan menyusun dirinya sendiri. Kesimpulannya,  jadi, untuk memahami karya seni atau puisi kita harus terlebih dahulu menikmatinya. Dan penikmatan adalah proses berbagi ‘rasa’. rasanya siapa? Rasanya pembaca dan rasanya puisi yang bertemu, berteman, berpacaran, dan kemudian menikah, lantas melahirkan.
           Rasa yang menghantam-hantam uluhati para penyair inilah yang kemudian disebut dengan istilah ‘pengalaman puitik’.  Dan tugas penyair adalah bagaimana ia mengungkapkan pengalaman puitiknya ini kepada pembaca dengan kendaraan kata-kata atau bahasa, yang artikulatif dan jernih.
          Jadi, sekali lagi, kalau kita mau memahami puisi—gunakanlah sebagai langkah pertama perasaanmu untuk memasukinya. Jangan mulai dari definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang ada di buku-buku pelajaran. Analoginya—bagaimana sih kalau kita mau mendekati dan mengenal gadis atau pemuda yang mau kita jadikan pacar kita? tentu kita takkan menggunakan sekian banyak teori dari buku tentang langkah-langkah efektif menemukan pasangan jiwa. Kita hanya mendekatinya saja, dengan perasaan gugup dan harapan yang terbuka. selanjutnya, kalau perasaan kita sama, maka akan ada proses lebih lanjut untuk saling mengenal. Demikian jugalah dalam memahami puisi.
          Langkah yang sama juga dapat kaukenakan ketika berhasrat menulis puisi. Buka perasaanmu. Lalu hanyutkan dirimu dengan perasaan itu. lalu menulislah. Saya rasa, hal yang sama juga dapat kaukenakan saat kau ingin memusikalisasikan puisi yang sedang kau baca. 
          Karena itu, menafsirlah sepuas dan sebebasmu. Menulislah sepuas dan sebebasmu. Itu langkah’pertama’ kalau tak mau stress saat harus menciptakan atau belajar puisi. Namun, apakah dengan seperti itu tafsir dan puisi yang kita buat pasti akan bagus hasilnya? Ya, belum tentu. Ada langkah-langkah lain yang memang harus tetap ditempuh. Tapi, itulah langkah yang pertama. 

 


Ari Pahala Hutabarat

BIOGRAFI PENULIS :

ARI PAHALA HUTABARAT. Lahir di Palembang pada tanggal 24 Agustus. Aktif menulis puisi, prosa, dan esei sejak tahun 1993. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung. sekarang menjabat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan Direktur Artistik Komunitas Berkat Yakin, Lampung. Beberapa puisinya pernah diterbitkan dalam antologi bersama para penyair Lampung; Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Dari Huma Lada (1996), Menikam Senja Membidik Cakrawala (1997), Pesta Sastra Internasional TUK (2003), Konser Ujung Pulau (2003), dan lain-lain. Puisi-puisinya termuat di koran daerah dan nasional, seperti—Lampung Post, Trans Sumatra, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, Jurnal Kebudayaan Kalam, dan lain-lain.
 
Pernah beberapakali meraih juara dalam lomba cipta puisi, diantaranya: Juara I Lomba Cipta Puisi pada Pekan seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) ke V di Surabaya, 1999. Juara I Lomba Cipta Puisi pada Festival Krakatau Lampung, 2000. Juara I Lomba Penulisan Esei pada Festival Krakatau Lampung 2001, juga masuk dalam lima belas (15) puisi terbaik dalam Lomba Cipta Puisi Nasional yang diselenggarakan Departemen Kesenian, Pendidikan, dan Kebudayaan Indonesia 2007. Pada Bulan Juni 2003, diundang dalam acara “Panggung Puisi Indonesia Mutakhir” di Teater Utan Kayu (TUK) Jakarta, bersama empat penyair lainnya dari Sumatra, Jakarta, Yogyakarta, dan Bali. Kemudian, pada Bulan Agustus 2003, kembali diundang untuk membacakan puisinya pada acara “Pesta Sastra Internasional (Winternachten Poetry Festival)” di Teater Utan Kayu, Jakarta. Bulan September 2005 diundang oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk urun serta dalam acara “Cakrawala Sastra Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sedang pada September 2006 diundang pada event “Ubud Writers and Readers Festival” di Ubud Bali yang merupakan ajang temu, baca, dan diskusi para penulis sepenjuru dunia.

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara