Judul : Sebait
Pantun Bujang
Karya : Agit Yogi Subandi
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung, desember 2010
Tebal : 48 halaman
DI sebuah taman, saya menyaksikan bunga-bunga mekar,
daun-daun gugur, pengunjung yang duduk di bangku kayu, serta penjaga taman yang
tekun. Saya melihat kehidupan, saya menemukan harmonisasi terhimpun menjadi kesatuan
yang romantik, seperti itulah saya menemukan kesan terhadap puisi-puisi di
dalam buku ''Sebait Pantun Bujang'', karya Agit Yogi Subandi.Karya : Agit Yogi Subandi
Penerbit : Dewan Kesenian Lampung, desember 2010
Tebal : 48 halaman
Kelahiran karya sastra selalu akan menyuarakan zamannya, menjadi penanda dan cermin bagi zamannya. Demikian pula kelahiran buku kumpulan puisi ''Sebait Pantun Bujang'' yang diterbitkan Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung Desember 2010 lalu. Ia akan menjadi penanda dan cermin tersendiri bagi sejarah dan lingkungan tempat puisi-puisi itu lahir, mengutip Penyair Jerman Rainer Maria Rilke dalam tulisannya ''Letters To A Young Poet'', suatu karya seni menjadi baik jika tumbuh dari kebutuhan yang wajar, dari cara ia berasal.
Saya akan memulainya dengan keberagaman tema di puisi-puisi Agit Yogi Subandi yang terhimpun dalam buku kumpulan puisi ''Sebait Pantun Bujang'' yang ia tulis dalam kurun waktu 7 tahun dan memuat 23 puisi ini. Begitu banyak tema yang saya temukan, seperti taman dengan berbagai peristiwa yang muncul di dalamnya, ada perjumpaan bunga-bunga mekar dengan kumbang, perpisahan daun dengan tangkai, berbulirnya embun di pagi hari, dan lain sebagainya. Setiap penulis tentu memiliki ciri tersendiri dalam mengolah tema yang berangkat dari wawasan, pandangan hidup dan komitmen manusiawi si penulis. Dan tentu saja proses berpuisi Agit Yogi Subandi tak lepas dari kerja keras pencariannya selama ini. pencarian akan suara asli, Tuhan, kemanusiaan dan hubungan-hubungan yang tercipta di antara keduanya.
Ah, saya ingat sajaknya yang berjudul Taman Flamboyan, sajak yang ditulis dengan kefasihan dan konsep yang matang. Membacanya, saya seperti dibawa ke dalam sebuah dunia ciptaan yang memasalampau.
....
Taman ini, taman yang menggigil. Gigilnya, tangan penyair yang gagal mengasah
lancip batu jurang untuk menghujam jantungmu.
(Taman Flamboyan, hal.12)
Pertemuan saya dengan sajak-sajak Agit berlangsung dalam sebuah lalu lintas yang sibuk. Ada banyak penafsiran yang bekerja. Saya melihat bahwa penyair mencoba menghadirkan tokoh-tokoh yang dihadapkan pada kehidupan yang garang serta tak ramah, tokoh-tokoh yang berada dalam pasar dan industri, hiruk pikuk politik dan segala macam transaksi. Ia menghadirkan kota sebagai suatu peristiwa yang dinamis, "siapa yang akan mencatat pertemuan? Bahkan kota lupa nama kita.." (Melankolia Kota, Hal. 45). Ia menggambarkan kehidupan sebagai labirin "Di dalam labirin ini, aku seperti pencari. pencari pintu keluarku sendiri.." Ia menggambarkan kehidupan yang komplek melalui permainan labirin: ada pintu masuk, dan pencarian pintu keluar. Barangkali pintu keluar itu adalah kematian, barangkali, saya tak berani menyimpulkannya, sebab Agit menghadirkan sajak itu dengan permainan dunia tanda.
Modern
Para penyair zaman modern mencari prinsip-prinsip perubahan, seperti yang ditulis Octavio Paz dalam The Other Voice, Estetika perubahan menekankan segi-segi karakter historis dari setiap puisi. Puisi yang dimulai sekarang tanpa awal, sedang mencari titik potong waktu, suatu titik pertemuan. Dan di kumpulan sajak ini, saya tak menemukan kesaklekan, tulisannya senantiasa mengalami perubahan. Namun dari sekian banyak perubahan itu, saya menarik satu garis merah yaitu Agit punya kehendak dan kecenderungan untuk bercerita. Ia mengutamakan peristiwa di dalam sajak-sajaknya. Simak saja beberapa sajaknya yang berjudul ''Taman Flamboyan, Tanjungkarang, Labirin, Kepada Lina, Petani Kata, Menulis Sajak, Seseorang yang Hendak Mengeluarkan Biji Matanya'', dan ''Melankolia Kota''.
Saya juga menemukan struktur-struktur yang komplit di puisi-puisinya. Ia mengolah kenyataan dan gejala dengan sentuhan emosional, dan memberikannya napas puitis. Saya melihat Agit menjelma ke dalam sajaknya sendiri, sebagai si pencipta, si pencari dan pengembara yang sederhana. Ia seperti peziarah di tengah kota, mampir di rumah makan, melewati pintu-pintu pertokoan, kadang tergoda pada gemerlap lampu di teras-teras yang redup-terang. Lazimnya pengembara, ia banyak mencatat dan menemukan kehidupan lain yang tersembunyi di hamparan gurun, keluasan samudera, gamang perkotaan, dan di sebuah taman. Dia adalah penyair yang banyak menyoal tentang penemuan-penemuan baru dari pengembaraannya melalui pemilihan bahasanya, kesatuan bunyinya, dan kepekaan metafora-metafora yang diusungnya.
Tapi, apa yang berbeda dalam sajak-sajak Agit Yogi Subandi di buku ini, pengembara yang nyaris muncul di setiap tempat, ia mengusung keindahan yang masih penuh dengan misteri. Ia memandang tragedi alam dan manusia dengan berjarak. Seperti pada sajak Interlude yang digubahnya ''sungai-sungai dihisap/ hewan-hewan mengembara ke ladang-ladang basah/ yang mati: dipanggang birahi matahari/.
Satu lagi ciri dari sajak Agit, ia seperti bertutur kepada seseorang. Tak ada sajaknya yang menurut kesan saya semacam solilokui. Ia selalu mengajak orang lain untuk menyimak ceritanya. Sajak ''Tanjungkarang'' adalah sajak terpanjang dan tentu saja amat sulit untuk dibacakan, sajak itu bermain di batas rawan antara ironi dan kemuraman.
...
subuh lepuh. matahari bagai serpihan kaca yang terlontar dari langit. di jalan, kusaksikan dada yang menggelembung kuning, meletup pada terik, sentuhan pertama. pun begitu seterusnya.
(Tanjungkarang, hal. 15)
Agit menciptakan sajak yang bersih dan penuh misteri. Meski seperti kata Ayu Utami, menulis sajak adalah perjuangan melahirkan sesuatu yang mungkin ditolak, namun Agit telah berani memelihara kesederhanaan dan kejujuran sastra yang menghubungkan kita kembali dengan kehidupan dan kemanusiaan. Saya kembali diingatkan bahwa melalui puisi, ada sebuah penghiburan bagi mereka yang menderita dan bagi mereka yang tak pernah lagi bertanya apakah masih ada keindahan dan ketenangan di tengah-tengah musibah yang melanda. Saya selalu percaya, bahwa di ruang nalar dan hati, ada sesuatu yang masih pantas mendapat tempatnya sendiri. Dan menulis sajak adalah memilih. Agit memilih taman kecil di mana kehidupan lain bertemu dan menyusun dirinya sendiri.
Penutup tulisan saya ini, akan saya kutip sajak ''Sebait Pantun Bujang'', yang barangkali mampu menghadirkan suatu perasaan yang masih berada dalam keheningannya; akasia hijau tersepuh/ bunganya cemara kering rapuh/ mengapa bunga tak kunjung jatuh/ hingga angan berubah keluh.
* Fitri Yani
Penulis puisi, tinggal di Bandarlampung. Buku kumpulan puisinya: Dermaga Tak Bernama (2010).
sumber: www.balipost.co.id
No comments:
Post a Comment