Jika kamu suka menulis sajak atau puisi, dan ingin
belajar... buku ini sangat cocok dan boleh dibilang wajib kamu miliki. Buku ini
unik, kocak, mengungkap bagaimana menulis dan mengapresiasi puisi. tetapi
disajikan seperti sebuah novel, ada kisah dan tokoh2nya. tapi tetap, ini buku
yang isinya bagaimana menulis puisi, tapi kamu boleh...... mengganggapnya
sebagai sebuah novel.... Bukunya enak dibaca, dengan bahasa yang
ringan....pokoknya seru...kalau ga percaya baca sendiri ya...
Data Buku
Judul : Menanam Benih Kata
Penulis : Ari Pahala Hutabarat.
Tebal Buku : 284 Halaman
Harga buku = Rp. 50.000,00 (terbilanglima puluh ribu rupiah)
tidak termasuk ongkos kirim.
Kalau tertarik dan ingin membeli; silahkan pesan di inbox ya
atau sms/telp ke nomor Alexander GB; 0812-725-33337
Terimakasih
Komunitas Berkat Yakin Lampung
Data Buku
Judul : Menanam Benih Kata
Penulis : Ari Pahala Hutabarat.
Tebal Buku : 284 Halaman
Harga buku = Rp. 50.000,00 (terbilanglima puluh ribu rupiah)
tidak termasuk ongkos kirim.
Kalau tertarik dan ingin membeli; silahkan pesan di inbox ya
atau sms/telp ke nomor Alexander GB; 0812-725-33337
Terimakasih
Komunitas Berkat Yakin Lampung
"Buku ini merupakan secangkir keringat selama hampir 20 tahun bergelut dengan puisi, buku perdana sebagai bentuk sumbangsihnya pada dunia perpuisian Indonesia, dari seorang sederhana Ari Pahala Hutabarat, guru muda bagi beberapa penyair lain (Jimmy Maruli Alfian, Inggit Putria Marga, Lupita Lukman, Fitri Yani, Agit Yogi Subandi), yang berisi semacam panduan, mungkin lebih tepatnya kita sebut saja resep menulis puisi yang selama ini telah diterapkannya secara lisan kepada segelintir nama-nama di atas.
Sebagaimana dikatakan penulisnya pada bagian prakata, buku ini adalah sebentuk provokasi, terutama bagi para sahabat pelajar SMA, mahasiswa serta guru Bahasa dan Sastra Indonesia di sekolah-sekolah, baik SMP mau pun SMA, agar lebih nekat dan berani mencintai dunia kepenulisan, khususnya puisi. Mengapa provokasi? Kenapa tidak pakai istilah yang lebih mulus, misalnya motivasi?
Mungkin fakta di lapangan selama hampir 20 tahun yang ditemukan penulis bukanlah seseorang itu kurang motivasi untuk menulis, sebaliknya, banyak orang yang di malam sunyi diam-diam mengambil pena lalu menulis namun malu untuk terang-terang mengaku atau justru takut salah dan dibilang jelek sehingga tidak kunjung mulai menulis, sehingga yang dibutuhkan adalah sebentuk provokasi agar para pembaca buku ini tergerak menjadi lebih nekat dalam menulis, rock and roll saja tanpa beban, berkarya secara elegan dan kritis, serta didorong oleh gairah jiwa yang romantis.
Meskipun mengandung resep-resep penulisan, bentuk penyajiannya tidak serta-merta seperti buku penuntun praktikum ilmu alam yang ditulis rinci dari A-Z, dari aturan main pertama hingga ke-100 tentang bagaimana menulis puisi. Setiap orang punya kebutuhan berbeda-beda, tidak semua orang bisa memakai rumus yang sudah banyak dipakai orang lain.
Mungkin inilah yang melandasi mengapa bentuk penulisan buku ini mirip dengan novel, sebuah karya yang membimbing pembaca untuk menyebrangi sungai, mendaki tebing, mengarungi sehamparan padang ilalang bersama lima orang tokoh murid (Budi, Latief, Bedul, Robert dan Wagino) didampingi gurunya (Mbah Bob) yang hadir sebagai narasi, yang bila dibaca dengan rileks sambil minum kopi atau teh hangat, akan sampai juga pada pengertian tentang ‘bagaimana menulis’ ke dalam benak para pembaca.
Berikut
sedikit cuplikannya:
Sungguh, memahami dan
menulis puisi itu sesungguhnya gampang dan mengasyikkan. Mengapa? Karena pada puisi tak bisa kita beri
definisi yang jelas atau tolok ukur yang pasti tentang apa definisi puisi dan
beginilah langkah-langkah yang pasti untuk memahaminya.
Kelonggaran dari ketakpastian definisi dan
tolok ukur ini seharusnya membuat setiap orang
merasa asyik saja saat ia ingin menulis puisi atau memahami puisi. Lalu,
mengapa ada kesan selama ini—kalau memahami sajak itu sulit, apalagi untuk
menuliskannya? Padahal itu cuma mitos yang dibuat oleh para, terutama guru-guru
di sekolah, untuk membuat kita berpikir lebih serius lagi ketika mengapresiasi
sastra.
Sungguh,
memahami dan menulis puisi itu gampang dan
mengasyikkan. Tapi, untuk sampai pada momen yang mengasyikkan itu—pertama-tama
pembaca haruslah mencintai mahluk yang bernama puisi itu—atau paling tidak
bersikap rendah hati dalam usahanya mengenal puisi.
Syarat pertama dalam memahami puisi adalah
‘menikmati’. Kalau pembaca tak merasa nikmat, maka bisa dipastikan usahanya
mengenal lebih lanjut akan tersendat-sendat.
Dan untuk menikmati dibutuhkan kerelaan pembaca atau apresian untuk
membuka hati dan perasaannya kepada objek yang akan ia nikmati.
Semua bentuk dari karya seni—pertama-tama
dibuat oleh penciptanya dengan bahan baku ‘perasaan’, barulah kemudian ia
menitipkan pikiran-pikirannya kepada ciptaannya tersebut. Demikian juga para
penyair ketika ia membuat sajak.
Perasaan atau emosinyalah yang lebih dahulu mengetuk atau menghantam ulu
hatinya, barulah kemudian sederet kata-kata menyusul dan menyusun dirinya
sendiri. Kesimpulannya, jadi, untuk
memahami karya seni atau puisi kita harus terlebih dahulu menikmatinya. Dan
penikmatan adalah proses berbagi ‘rasa’. rasanya siapa? Rasanya pembaca dan
rasanya puisi yang bertemu, berteman, berpacaran, dan kemudian menikah, lantas
melahirkan.
Rasa yang menghantam-hantam uluhati para
penyair inilah yang kemudian disebut dengan istilah ‘pengalaman puitik’. Dan tugas penyair adalah bagaimana ia
mengungkapkan pengalaman puitiknya ini kepada pembaca dengan kendaraan
kata-kata atau bahasa, yang artikulatif dan jernih.
Jadi, sekali lagi, kalau kita mau memahami
puisi—gunakanlah sebagai langkah pertama perasaanmu untuk memasukinya. Jangan
mulai dari definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang ada di buku-buku
pelajaran. Analoginya—bagaimana sih kalau kita mau mendekati dan mengenal gadis
atau pemuda yang mau kita jadikan pacar kita? tentu kita takkan menggunakan
sekian banyak teori dari buku tentang langkah-langkah efektif menemukan
pasangan jiwa. Kita hanya mendekatinya saja, dengan perasaan gugup dan harapan
yang terbuka. selanjutnya, kalau perasaan kita sama, maka akan ada proses lebih
lanjut untuk saling mengenal. Demikian jugalah dalam memahami puisi.
Langkah yang sama juga dapat kaukenakan
ketika berhasrat menulis puisi. Buka perasaanmu. Lalu hanyutkan dirimu dengan
perasaan itu. lalu menulislah. Saya rasa, hal yang sama juga dapat kaukenakan
saat kau ingin memusikalisasikan puisi yang sedang kau baca.
Karena itu, menafsirlah sepuas dan
sebebasmu. Menulislah sepuas dan sebebasmu. Itu langkah’pertama’ kalau tak mau
stress saat harus menciptakan atau belajar puisi. Namun, apakah dengan seperti
itu tafsir dan puisi yang kita buat pasti akan bagus hasilnya? Ya, belum tentu.
Ada langkah-langkah lain yang memang harus tetap ditempuh. Tapi, itulah langkah
yang pertama.
Ari Pahala Hutabarat |
BIOGRAFI
PENULIS :
ARI PAHALA HUTABARAT. Lahir di Palembang pada tanggal 24 Agustus. Aktif menulis puisi, prosa, dan esei sejak tahun 1993. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung. sekarang menjabat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan Direktur Artistik Komunitas Berkat Yakin, Lampung. Beberapa puisinya pernah diterbitkan dalam antologi bersama para penyair Lampung; Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Dari Huma Lada (1996), Menikam Senja Membidik Cakrawala (1997), Pesta Sastra Internasional TUK (2003), Konser Ujung Pulau (2003), dan lain-lain. Puisi-puisinya termuat di koran daerah dan nasional, seperti—Lampung Post, Trans Sumatra, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, Jurnal Kebudayaan Kalam, dan lain-lain.
ARI PAHALA HUTABARAT. Lahir di Palembang pada tanggal 24 Agustus. Aktif menulis puisi, prosa, dan esei sejak tahun 1993. Menyelesaikan pendidikan terakhir di Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lampung. sekarang menjabat sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan Direktur Artistik Komunitas Berkat Yakin, Lampung. Beberapa puisinya pernah diterbitkan dalam antologi bersama para penyair Lampung; Daun-Daun Jatuh Tunas-Tunas Tumbuh (1995), Dari Huma Lada (1996), Menikam Senja Membidik Cakrawala (1997), Pesta Sastra Internasional TUK (2003), Konser Ujung Pulau (2003), dan lain-lain. Puisi-puisinya termuat di koran daerah dan nasional, seperti—Lampung Post, Trans Sumatra, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, Jurnal Kebudayaan Kalam, dan lain-lain.
Pernah beberapakali meraih juara dalam lomba cipta puisi, diantaranya: Juara I Lomba
Cipta Puisi pada Pekan seni Mahasiswa Nasional (Peksiminas) ke V di Surabaya,
1999. Juara I Lomba Cipta Puisi pada Festival Krakatau Lampung, 2000. Juara I
Lomba Penulisan Esei pada Festival Krakatau Lampung 2001, juga masuk dalam lima
belas (15) puisi terbaik dalam Lomba Cipta Puisi Nasional yang diselenggarakan
Departemen Kesenian, Pendidikan, dan Kebudayaan Indonesia 2007. Pada Bulan Juni
2003, diundang dalam acara “Panggung Puisi Indonesia Mutakhir” di Teater Utan
Kayu (TUK) Jakarta, bersama empat penyair lainnya dari Sumatra, Jakarta,
Yogyakarta, dan Bali. Kemudian, pada Bulan Agustus 2003, kembali diundang untuk
membacakan puisinya pada acara “Pesta Sastra Internasional (Winternachten
Poetry Festival)” di Teater Utan Kayu, Jakarta. Bulan September 2005 diundang
oleh Dewan Kesenian Jakarta untuk urun serta dalam acara “Cakrawala Sastra
Indonesia” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Sedang pada September 2006
diundang pada event “Ubud Writers and Readers Festival” di Ubud Bali yang
merupakan ajang temu, baca, dan diskusi para penulis sepenjuru dunia.
No comments:
Post a Comment