12 Maret 2014
Aku mengenang saat
pertama memandang matamu.
1. Deskripsi
2. Analogi
3. Negasi
4. Dialog
Deskripsi
Aku mengenang saat
pertama memandang matamu. Saat itu aku tengah berjalan dengan sedikit tergesa
di antara toko-toko makanan yang belum dibuka dan mahasiswa-mahasiswa asrama
yang berlalu-lalang dalam balutan baju tidur, karena jika lima menit lagi aku
belum tiba di Stasiun Tanjungkarang, aku akan ketinggalan kereta pertama menuju
Kertapati. Tepat di depan sebuah kafe berdinding kaca, kau menabrakku dari arah
berlawanan sehingga aku terjatuh bagaikan sepeda yang hilang keseimbangan.
Selama beberapa detik aku mengira seseorang telah mendorongku dengan sengaja,
tapi kemudian aku melihatmu berjalan memutar ke sampingku, dan segera saja, mengambil
buku-bukuku yang jatuh berserakan. Aku berdiri dan membersihkan celanaku yang
terkena debu dengan perasaan kesal dan ingin marah. “Maaf saya tidak sengaja,
apa kamu baik-baik saja?” tanyamu dengan wajah pucat sambil mendekatiku dan
menyerahkan buku-bukuku. Ingin sekali kukatakan bahwa jalan ini lebar dan
seharusnya kau bisa berjalan dengan fokus, tapi saat matamu menatap mataku,
bibirku terkunci seolah-olah terikat kawat tak kasat mata dan dadaku bergetar
seperti dialiri aliran listrik yang halus.
Dialog
“Aku mengenang saat
pertama memandang matamu,”kata Ara sambil menyandarkan tubuhnya di pundak Juan.
Mereka duduk di taman, menikmati sore dan cappucino panas yang mereka beli di
seberang jalan.
“Apa yang kau ingat,
Honey?” tanya Juan sambil melingkarkan tangannya ke pundak Ara.
“Waktu itu kamu
gugup tapi mencoba tenang,” kata Ara. “Seharusnya aku marah karena kamu
menabrakku dan membuat buku-bukuku jatuh.”
“Kalau kamu marah
waktu itu,” balas Juan. “Aku tidak akan meminta nomor handphone-mu dantidak
akan ada pertemuan lagi sesudahnya.”
“Hahaha..habisnya
tatapanmu bikin aku tak berdaya.”
“Ya, semua
seolah-olah sudah ditentukan oleh waktu,” kata Juan. “Aku pun tidak akan
menyangka bahwa pagi itu adalah titik balik bagi perjalananku.Dan kalau
diingat-ingat lagi, Honey, momen itu lebih puitik dari momen apa pun sepanjang
hidupku.”
“Aku rasa juga
begitu,” kata Ara sambil tersenyum lalu menghirup cappunico-nya yang hampir
dingin.
“Kamu lihat bunga
mawar itu?” tanya Juan sambil menunjuk ke sudut taman. “Bunga itu mekar karena
memang sudah saatnya mekar, seperti itulah aturannya.”
“Ya, aku mengerti,”
kata Ara. Saat itu ia tahu, bahwa ia telah menemukan tamannya.
Analogi
Aku mengenang saat
pertama memandang matamu. Saat itu matamu mirip seperti sebait puisi; begitu
jernih dan dalam. Kejernihannya seakan menampakkan pasir-pasir di dasar sungai,
sementara kedalamannya menyergapku ke dalam lapis-lapis metafora yang sukar
kutafsir.Di dalam puisi itu, aku bisa melihat sebuah pagi yang cerah, embun yang
menguap dari padang rumput, dan seorang bocah yang menggigil sendirian di bawah
hujan. Sehingga aku merasa hadir di dalam puisi itu, menjadi bagian dari
frasa-frasa yang tak terpisahkan.
Negasi
Aku mengenang saat
pertama memandang matamu.Mata yang membuatku paham tentang sisi lain dari
kelembutan seorang laki-laki. Malam ini,sambil memandang potret kita berdua di
layar komputer, kutuliskan sepucuk surat agar rinduku terbayar. Kupilih kertas
biru muda yang di setiap pinggirnya ada siluet hati yang terpanah. Kutata
kalimat demi kalimat, kuceritakan kegiatanku sehari-hari dan betapa binar
matamu tak pernah luput dari ingatan. Kukatakan pula bahwa akhir-akhir ini aku
banyak membaca novel-novel terjemahan dan belajar menulis paragraf analogi
untuk mengisi waktuku selama tidak bersamamu. Sambil sesekali tersenyum
membayangkan hal-hal yang telah kulewati, aku terus menuliskan semua hal yang
ingin kukatakan. Dan ketika aku berhenti, kulihat aku telah menuliskannya
hingga lembar ke-tiga. “Ah, terlalu panjang dan klise,” gumamku sambil meremas
surat itu lalu melemparnya ke kotak sampah.
No comments:
Post a Comment