Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Wednesday, April 1, 2015

Pelajaran kedua: mengembangkan kalimat dengan analogi, perbandingan-pertentangan, melanjutkan via deskripsi/narasi

19 Maret 2014

Di suatu hari minggu yang berkabut menjelang akhir April aku berjalan memintasi halaman becek dan memencet tombol bel yang dipasang di pintu kayu oak yang dihias padat-padat dengan hiasan.
Susun paragraf dari kalimat pertama di atas, a) melanjutkan cerita via narasi, b) analogi, c) menegasi, d) dialog.

Khusus u dialog, jgn jadikan kalimat pertama tsb bulat2 sebagai bagian dari dialog, tapi jadikan sbg bahan kisah yg akan diceritakan dlm isi dialog.

Narasi

Di suatu hari minggu yang berkabut menjelang akhir April aku berjalan memintasi halaman becek dan memencet tombol bel yang dipasang di pintu kayu oak yang dipenuhihiasan. Sambil memperhatikan bangunan dua tingkat berdinding ubin dengan corak batu bata berwarna kecoklatan di depanku, aku berpikir tentang Juan, sebenarnya aku tidak bermaksud memikirkannya, tapi ingatan itu tiba-tiba datang dan hidup dengan sendirinya.Ah, betapa lama aku tak memandang matanya, melihat kedalaman yang tak pernah lagi bisa kutemui di mata laki-laki mana pun, gumamku. Tiba-tiba angan-anganku buyar ketika daun pintu perlahan terbuka, seorang perempuan setengah baya dengan punggung sedikit membungkuk tersenyum ramah padaku. Garis-garis halus di sekitar matanya menyiratkan kehidupan yang sederhana dan bahagia. Usianya kurang lebih 50 tahun, rambutnya sedikit beruban dan diikat rapi ke belakang. Kubalas senyumannya dan kukatakan ingin bertemu tuan rumah. Ia membungkuk, mempersilahkanku masuk, lalu mengiringiku menuju pintu utama rumah itu. Di pekarangan, tumbuh begitu banyak pohon flamboyan yang sudah tua dan rindang, bergoyang-goyang tanpa suara, bagaikan sekumpulan orang yang sedang berdoa, dua buah kursi berhadapan di bawahnya. Sepertinya tuan rumah sering minum teh di sore hari sambil memandang bunga-bunga yang dikerdilkan di dalam pot. Perempuan itu memintaku duduk di kursi itu sementara ia melangkah ke dalam. Aku merapikan rambutku dengan jari, menghirup nafas dalam-dalam dan menyiapkan diriku sekuat-kuatnya untuk pertemuan ini.

Negasi
Di suatu hari minggu yang berkabut menjelang akhir April aku berjalan memintasi halaman becek dan memencet tombol bel yang dipasang di pintu kayu oak yang dipenuhihiasan. Aku ingin sejenak saja memandang matanya sebelum meninggalkan kota ini untuk waktu yang sangat lama bahkan mungkin selamanya. Kusiapkan diriku sebaik-baiknya dari jauh-jauh hari; kususun kalimat demi kalimat yang ingin kusampaikan ketika berhadapan dengannya, kupilih pakaian yang kurasa cocok untuk pertemuan terakhir kami, juga sebuah pena dan jam tangan pemberiannya yang ingin kukembalikan. Berkali-kali kuhirup nafas dalam-dalam, kualihkan pandanganku pada pohon-pohon oak yang tua dan rindang, aroma rumput dan tanah becek memenuhi hidungku, memberikan sensasi damai tersendiri buatku. Kupencet sekali lagi tombol bel, kali ini dengan perasaan yang lebih pasti.Ketika berdiri di situ, bahkan terasa bahwa laju waktu sedikit melambat. Kupandangi  rumah bercorak eropa di depanku yang nampak begitu dingin dan angkuh. Ada sebuah beranda yang menghadap jalan raya dan setiap akhir pekan, di sanalah aku dan Juan menghabiskan waktu berdua, mendengarkan beberapa lagu jazz yang sengaja kami putar di dalam kamar sambil membicarakan hal-hal yang menarik. Beberapa saat kemudian kudengar langkah mendekat, jantungku berdebar, kubayangkan matanya yang teduh itu akan berbinar saat melihatku. “Ah, pertemuan terakhir hanya akan membekaskan luka,” gumamku sambil meletakkan pena dan jam tangan di depan pintu, lalu melangkah pergi sebelum pintu terbuka.
Dialog
“Maaf mengganggu, saya Ara, sekertaris Pak Roberto,” kataku sambil tersenyum ramah.
Laki-laki itu memicingkan mata, tampak tidak senang, “Pak Roberto?” tanyanya. "Dari Sugar Group?”
“Betul,” kataku.
“Silahkan duduk, saya punya waktu lima menit,” ujarnya sambil memintaku duduk di kursi beranda.
“Terimakasih,” kataku. “Kami berniat mengajukan kerjasama produk dengan perusahaan anda,”
Laki-laki itu tertawa, “Aduh, maaf ya, saya belum tertarik dengan bentuk kerjasama ini.”
“Sayang sekali, mungkin anda bisa pelajari dulu proposal kami,” kataku sambil menyodorkan map.
“Begini ya,“ ujarnya sambil menyondongkan tubuhnya ke arahku. “Saya sudah menolak tawaran ini sebelumnya via telepon, lagi pula ini kan hari minggu, saya tidak suka diganggu soal pekerjaan.”
Mendengar itu, aku langsung berdiri, meraih map, lalu meninggalkannya tanpa permisi.

 
Analogi
Di suatu hari minggu yang berkabut menjelang akhir April aku berjalan memintasi halaman becek dan memencet tombol bel yang dipasang di pintu kayu oak yang dipenuhihiasan. Menunggu pintu itu dibuka, aku seperti berada di depan sebuah gedung pertunjukan teater dan tak sabar masuk ke dalam gedung. Sambil menatap poster-poster yang ditempel di depan gedung, aku membolak-balik booklet kelompok teater dari Rusia yang sebentar lagi akan mementaskan Hamlet. Suasana di depan gedung itu dingin dan hanya ada beberapa orang yang ingin menonton, membuatku mulai merasa jenuh. Suara pemberitahuan dari operator bahwa pertunjukan akan segera dimulai pun belum terdengar, sementara kakiku sudah mulai kesemutan. Kulirik jam yang telah menunjukkan pukul tiga sore di pergelangan tanganku, ah lama sekali, batinku. Sepuluh menit kemudian pintu pun dibuka.

No comments:

Post a Comment

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara