19 Maret 2014
Di suatu hari minggu yang berkabut
menjelang akhir April aku berjalan memintasi halaman becek dan memencet tombol
bel yang dipasang di pintu kayu oak yang dihias padat-padat dengan hiasan.
Susun paragraf dari kalimat pertama
di atas, a) melanjutkan cerita via narasi, b) analogi, c) menegasi, d) dialog.
Khusus u dialog, jgn jadikan kalimat
pertama tsb bulat2 sebagai bagian dari dialog, tapi jadikan sbg bahan kisah yg
akan diceritakan dlm isi dialog.
Narasi
Di suatu hari minggu yang berkabut
menjelang akhir April aku berjalan memintasi halaman becek dan memencet tombol
bel yang dipasang di pintu kayu oak yang dipenuhihiasan. Sambil memperhatikan
bangunan dua tingkat berdinding ubin dengan corak batu bata berwarna kecoklatan
di depanku, aku berpikir tentang Juan, sebenarnya aku tidak bermaksud
memikirkannya, tapi ingatan itu tiba-tiba datang dan hidup dengan sendirinya.Ah,
betapa lama aku tak memandang matanya, melihat kedalaman yang tak pernah lagi
bisa kutemui di mata laki-laki mana pun, gumamku. Tiba-tiba angan-anganku buyar
ketika daun pintu perlahan terbuka, seorang perempuan setengah baya dengan
punggung sedikit membungkuk tersenyum ramah padaku. Garis-garis halus di
sekitar matanya menyiratkan kehidupan yang sederhana dan bahagia. Usianya
kurang lebih 50 tahun, rambutnya sedikit beruban dan diikat rapi ke belakang.
Kubalas senyumannya dan kukatakan ingin bertemu tuan rumah. Ia membungkuk,
mempersilahkanku masuk, lalu mengiringiku menuju pintu utama rumah itu. Di
pekarangan, tumbuh begitu banyak pohon flamboyan yang sudah tua dan rindang,
bergoyang-goyang tanpa suara, bagaikan sekumpulan orang yang sedang berdoa, dua
buah kursi berhadapan di bawahnya. Sepertinya tuan rumah sering minum teh di
sore hari sambil memandang bunga-bunga yang dikerdilkan di dalam pot. Perempuan
itu memintaku duduk di kursi itu sementara ia melangkah ke dalam. Aku merapikan
rambutku dengan jari, menghirup nafas dalam-dalam dan menyiapkan diriku
sekuat-kuatnya untuk pertemuan ini.
Negasi
Di suatu hari minggu yang berkabut
menjelang akhir April aku berjalan memintasi halaman becek dan memencet tombol
bel yang dipasang di pintu kayu oak yang dipenuhihiasan. Aku ingin sejenak saja
memandang matanya sebelum meninggalkan kota ini untuk waktu yang sangat lama
bahkan mungkin selamanya. Kusiapkan diriku sebaik-baiknya dari jauh-jauh hari;
kususun kalimat demi kalimat yang ingin kusampaikan ketika berhadapan
dengannya, kupilih pakaian yang kurasa cocok untuk pertemuan terakhir kami,
juga sebuah pena dan jam tangan pemberiannya yang ingin kukembalikan. Berkali-kali
kuhirup nafas dalam-dalam, kualihkan pandanganku pada pohon-pohon oak yang tua
dan rindang, aroma rumput dan tanah becek memenuhi hidungku, memberikan sensasi
damai tersendiri buatku. Kupencet sekali lagi tombol bel, kali ini dengan
perasaan yang lebih pasti.Ketika berdiri di situ, bahkan terasa bahwa laju
waktu sedikit melambat. Kupandangi rumah
bercorak eropa di depanku yang nampak begitu dingin dan angkuh. Ada sebuah
beranda yang menghadap jalan raya dan setiap akhir pekan, di sanalah aku dan
Juan menghabiskan waktu berdua, mendengarkan beberapa lagu jazz yang sengaja
kami putar di dalam kamar sambil membicarakan hal-hal yang menarik. Beberapa
saat kemudian kudengar langkah mendekat, jantungku berdebar, kubayangkan
matanya yang teduh itu akan berbinar saat melihatku. “Ah, pertemuan terakhir
hanya akan membekaskan luka,” gumamku sambil meletakkan pena dan jam tangan di
depan pintu, lalu melangkah pergi sebelum pintu terbuka.
Dialog
“Maaf
mengganggu, saya Ara, sekertaris Pak Roberto,” kataku sambil tersenyum ramah.
Laki-laki
itu memicingkan mata, tampak tidak senang, “Pak Roberto?” tanyanya. "Dari
Sugar Group?”
“Betul,”
kataku.
“Silahkan
duduk, saya punya waktu lima menit,” ujarnya sambil memintaku duduk di kursi
beranda.
“Terimakasih,”
kataku. “Kami berniat mengajukan kerjasama produk dengan perusahaan anda,”
Laki-laki
itu tertawa, “Aduh, maaf ya, saya belum tertarik dengan bentuk kerjasama ini.”
“Sayang
sekali, mungkin anda bisa pelajari dulu proposal kami,” kataku sambil
menyodorkan map.
“Begini
ya,“ ujarnya sambil menyondongkan tubuhnya ke arahku. “Saya sudah menolak
tawaran ini sebelumnya via telepon, lagi pula ini kan hari minggu, saya tidak
suka diganggu soal pekerjaan.”
Mendengar
itu, aku langsung berdiri, meraih map, lalu meninggalkannya tanpa permisi.
Analogi
Di suatu hari minggu yang berkabut
menjelang akhir April aku berjalan memintasi halaman becek dan memencet tombol
bel yang dipasang di pintu kayu oak yang dipenuhihiasan. Menunggu pintu itu
dibuka, aku seperti berada di depan sebuah gedung pertunjukan teater dan tak
sabar masuk ke dalam gedung. Sambil menatap poster-poster yang ditempel di
depan gedung, aku membolak-balik booklet kelompok teater dari Rusia yang
sebentar lagi akan mementaskan Hamlet. Suasana di depan gedung itu dingin dan
hanya ada beberapa orang yang ingin menonton, membuatku mulai merasa jenuh.
Suara pemberitahuan dari operator bahwa pertunjukan akan segera dimulai pun
belum terdengar, sementara kakiku sudah mulai kesemutan. Kulirik jam yang telah
menunjukkan pukul tiga sore di pergelangan tanganku, ah lama sekali, batinku.
Sepuluh menit kemudian pintu pun dibuka.
No comments:
Post a Comment