Lesson 2: 28 Februari 2014
Setelah meneguk kopi, Maran bangkit lalu
melangkah menuju pintu depan dan meninggalkan Amalia tanpa pamit.
Analogi
Setelah meneguk kopi, Maran bangkit lalu
melangkah menuju pintu depan dan meninggalkan Amalia tanpa pamit. Seakan
melepaskan baju pesta yang terkena noda kecap, ia letakkan baju itu begitu saja
di tumpukan pakaian kotor. Dia biarkan baju itu menyatu dengan baju-baju kotor
lainnya, tertumpuk tanpa harapan akan dicuci. Dia meneruskan langkahnya menuju
pekarangan, menghela nafas dan, sambil menghidupkan mesin motornya, membiarkan
tubuhnya seakan telanjang tanpa baju. Maran meneguhkan hatinya untuk pergi dari
kekasihnya yang lima menit lalu mengembalikan cincin pertunangan.
Negasi
Setelah meneguk kopi, Maran bangkit lalu
melangkah menuju pintu depan dan meninggalkan Amalia tanpa pamit. Saat hendak
membuka pintu, tiba-tiba ia tertegun menatap gorden di ruang tamu, ada sepasang
kupu-kupu cokelat nampak kelelahan dan menyepakkan sayap lambat-lambat.
"Sepertinya ini pertanda baik", ujar Maran, lebih kepada dirinya
sendiri. Ia melepas kacamatanya dan memperhatikan kupu-kupu itu lebih dekat.
Disentuhnya ujung sayap salah satu kupu-kupu cokelat yang warnanya hampir
pudar, seperti menyentuh perasaannya yang tak lagi utuh pada Amalia pagi itu.
Setelah menjentikkan noda sayap kupu-kupu yang menempel di telunjuk kanannya,
ia bergegas keluar dari pintu. Di pekarangan, ia berkali-kali menghirup udara
lembab dengan tarikan nafas yang dalam sambil menatap ujung jalan yang dilewati
satu-dua kendaraan. “Ah, hubungan kami harusnya bisa menjadi lebih dewasa,”
gumamnya. Ia memetik setangkai mawar yang baru mekar lalu berjalan kembali ke
dalam rumah.
Narasi
Setelah meneguk kopi, Maran bangkit lalu
melangkah menuju pintu depan dan meninggalkan Amalia tanpa pamit. Kali ini ia
bertekad tak akan kembali ke rumah itu lagi dan membuang jauh-jauh cintanya
pada perempuan itu. Kata-kata yang dilontarkan Amalia sepuluh menit yang lalu
membuat dadanya sesak bahkan kian terngiang hingga ia tiba di pintu gerbang. Ia
tak tahan terus-menerus dihina sebagai laki-laki pengangguran dan menjadi
benalu dalam kehidupan Amalia. Dilihatnya daun-daun kering berserakan di
halaman yang muram sore itu, dirasakannya kebebasan baru yang belum pernah ia
rasakan sebelumnya. Dengan lirih diucapkannya sepatah kata, lebih kepada
dirinya sendiri, "Aku akan lebih bahagia dan bebas tanpa dirinya
lagi." Lalu ia melangkah dengan senyum serekah bunga pukul empat sore.
Sementara di belakangnya, di balik pintu, sepasang mata Amalia menatap
kepergiannya dengan penuh penyesalan.
No comments:
Post a Comment