19
februari 2014
Analogi
Sambil berusaha untuk tidak menangis, di atas ranjang,
Frida menggenggamku dengan kedua matanya. Matanya seperti kelopak bunga
geranium sementara aku adalah seekor serangga yang kehausan. Kelopak merahnya
siap menghabisi tubuh ringkihku dalam sekejap. Aku berputar-putar
mengintarinya, memperhatikan daun, batang, dan kelopaknya yang menebarkan aroma
segar di udara. Ia bergeming menungguku mendekat dan menghisap madunya, tak
goyah ia dibelai angin, tak rebah ia disentuh hujan. Jika tiba saatnya aku
mendekat, kelopak mudanya yang nampak tak berdaya sekaligus penuh ketegaran itu
sekejap saja akan memerangkapku. Dan tenggorokanku yang kering, begitu sekarat
mendambakan madunya. Seperti itulah tatapan Frida, seakan bersiap menelanku
hingga tak bersisa.
Pertentangan
Sambil berusaha untuk tidak menangis, di atas ranjang, Frida
menggenggamku dengan kedua matanya. Tapi tidak dengan senyumannya, begitu sinis
dan dingin, seolah menginginkanku agar cepat pergi. Tatapannya yang hangat dan
merayu itu begitu bertentangan dengan senyumannya sore itu. Senyum yang
bagaikan ukiran baru selesai dipahat dan membuat perasaanku yang semula penuh
mendadak kosong kembali. Senyum itu umpama seringai perempuan yang memerankan
peran antagonis dalam sebuah sinetron picisan yang ditayangkan di televisi
swasta, siapa pun yang melihatnyamenjadi tak betah dan menjadi ciut nyalinya.
Aku dibuat terombang-ambing dengan tatapan hangat dan senyum sinisnya itu,
bagaikan berdiri di dalam lorong panjang yang gelap dan tak kunjung menemukan
pintu keluar.
Narasi/ deskripsi
Sambil berusaha untuk tidak menangis, di atas ranjang, Frida
menggenggamku dengan kedua matanya. Kalau saja ia tidak menatapku seperti itu
mungkin aku tidak akan gemetaran seperti ini. Kuatur nafas lalu kembali duduk
di pinggir ranjang, kuraih tangannya sekali lagi dan kubelai-belai cincin perak
yang melingkar di jari manisnya. Ia masih bergeming namun seolah minta didekap,
caranya berbaring mengingatkanku pada seekor hewan kecil yang terluka parah.
Beberapa saat kemudian ia berkata, “Ah, Juan,” keluhnya. “Kumohon. Tinggallah
seminggu lagi di sini.” Tapi kukatakan aku tak bisa dan ia harus mengerti bahwa
hubungan kami hanya sebatas pertemuan-pertemuan sesaat saja. Ia diam saja dan
terus memain-mainkan boneka beruang dan bantal guling dengan kedua tangannya.
Setelah mengucapkan itu, aku mematikan rokok di asbak, mengambil jaket lalu beranjak
ke pintu.
No comments:
Post a Comment