18
Januari 2014
Proposisi: Merupakan kejutan bagiku
bahwa ia sudah berpakaian rapi.
Merupakan
kejutan bagiku bahwa ia sudah berpakaian rapi.
Padahal satu jam sebelumnya ia mengatakan kalau ia telah membatalkan janji
untuk memenuhi undangan makan malam di rumah Nyonya Tracy. Ia lebih memilih
menyibukkan diri di ruang baca bersama beberapa tumpuk novel yang kami beli dua
hari yang lalu. Dua kali aku membuatkannya kopi dan menanyakan apakah ia akan
mengajakku keluar makan malam atau jalan-jalan di pelataran kota.namun
responnya seperti anak-anak yang tengah asik dengan mainannya. Kini ia sudah
berdiri di depanku dan memintaku untuk menemaninya memenuhi undangan makan
malam di rumah Nyonya Tracy.
Merupakan
kejutan bagiku bahwa ia sudah berpakaian rapi.
Ia mengenakan kemeja biru dan celanadasar gelap. Rambutnya disisir rapi ke
belakang dan saat ia menghampiriku, aku mencium aroma parfum yang hanya ia
pakai di waktu-waktu spesialnya. Sepatu pantopel hitam mengkilat membuat
penampilannya sore itu begitu sempurna di mataku. Beberapa saat kemudian ia
memintaku untuk mengenakan gaun biru satin yang ia belikan saat ulang tahun
perkawinan kami yang ke tiga, setelah itu ia mengatakan ingin mengajakku makan
malam di sebuah restoran mewah di kota ini.
Proposisi: Mungkin baru dua langkah aku memasuki
pintu bar, Izrail dengan riang telah melemparku ke awan.
Mungkin
baru dua langkah aku memasuki pintu bar, Izrail
dengan riang telah melemparku ke awan. Tubuhku terasa begitu ringan seperti
kapas-kapas yang terbang dari tangkainya. Mulutku membiru dan berkali-kali
memuntahkan cairan merah, otot-otot mengejang serta dadaku seperti ditusuk
ratusan jarum. Aku hampir tak bisa merasakan apa-apa selain rasa ringan.
Suara-suara teriakan berubah seperti nyanyian gereja yang biasa kudengan setiap
sabtu dan minggu. Lalu hamparan putih
terbentang di depanku.
Mungkin
baru dua langkah aku memasuki pintu bar, Izrail dengan
riang telah melemparku ke awan. tubuhnya yang bercahaya itu mendekapku seperti
rahim seorang ibu. Melalui tangannya, aku seperti melihat hamparan samudera
emas yang begitu luas. Bibirnya yang selalu tersenyum itu seolah menebarkan
aroma musim semi, “Siapkan hatimu untuk bertemu Tuhan,” ujarnya. Tubuhku
gemetar.
22
Januari 2014 lanjutan
Mungkin baru dua langkah aku memasuki
pintu bar, Izrail dengan riang telah melemparku ke awan. Padahal sebelum
berangkat aku telah mengenakan pakaian terbaik, parfum, dan beberapa aksesoris
yang hanya kupakai untuk berkencan. Tak hanya itu, aku juga telah menyiapkan
sebuah buku karya Haruki Murakamiyang khusus kubeli dan ingin kuhadiahkan
untuknya, lelaki berambut ombak yang seminggu lalu memintaku membaca beberapa
puisi untuknya, yang saat ini kupastikan telah menungguku di dalam bar. Namun
nasib baik sepertinya berputar arah, seorang wanita setengah baya menodongkan
pistol dan merampas tasku. Aku memberontak, tapi pistol itu terlanjur meletus
dan sebutir peluru bersarang di dadaku. Buku Haruki Murakami terjatuh dari
tanganku bersamaan dengan teriakan-teriakan pengunjung bar. Kulihat senyum Izrail
begitu hangat menyentuh keningku.
Variasi 1
Mungkin baru dua langkah aku memasuki
pintu bar, Izrail dengan riang telah melemparku ke awan.Padahal sebelum
berangkat, aku telah menelpon Nadia dan memintanya tak memberitahu siapapun
tentang rencana pertemuan kami, termasuk Jon, pacar Nadia yang diam-diam juga
menjalin hubungan gelap denganku. Aku juga telah menyiapkan beberapa kalimat
yang akan kusampaikan kepada Nadia, terutama tentang kebejatan-kebejatan Jon. Namun
semua rencana ternyata tak sesuai dengan apa yang kukehendaki, Jon dan dua
temannya menarik rambutku dan berkali-kali membenturkan kepalaku ke tangga, bunyinya
seperti puluhan gelas minuman yang beradu. Tangisku tertahan, kulihat Nadia dan
Izrail tersenyum simpul di balik pundak Jon.
Variasi 2: menggunakan Tapi
Mungkin baru dua langkah aku memasuki
pintu bar, Izrail dengan riang telah melemparku ke awan. Tapi, sesungguhnya
bukan Izrail yang kuharapkan mendatangiku malam itu, melainkan Alfredo, lelaki
yang dua tahun lalu berjanji akan bertemu lagi denganku di bar itu. Dulu
sebelum ia pindah ke Jakarta, senantiasa kami menghabiskan malam di sebuah meja
di pojok bar itu, ia akan mengungkapkan keinginan-keinginannya belajar
arsitektur, sambil menyelipkan sebuah
kata yang hingga kini terngiang di kepalaku, “Dua tahun lagi, kita bertemu di
sini, di tanggal yang sama” katanya, kata-kata itu kembali terngiang bersamaan
dengan suara musik yang membuat dadaku kian berdebar. Lalu kulanjutkan
langkahku, dan tepat di langkah kedua saat memasuki pintu bar itu, sepatu hihgheelku patah, kakiku terkilir, dan
kepalaku membentur ujung anak tangga. Darah bercucuran dari pelipisku.
Barangkali cerita ini hanyalah lelucon menyedihkan yang menemani kencan malam
siapa saja, tapi nyatanya Izraillah yang lebih dulu menemuiku, bukan Alfredo.
No comments:
Post a Comment