Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Tuesday, March 3, 2015

Fitri Yani; Guru plus Sastrawan & Gerakan Save Tradisi

Fitri Yani, Pengajar di Global Surya School, Sastrawan

Oleh alexander gb

Setiap pagi atau sore, sebelum berangkat atau sepulang mengajar, seorang perempuan berkulit putih bersih selalu menyempatkan untuk memunguti daun-daun mangga yang berjatuhan di halaman. Sesekali ia menatapnya dengan seksama, seperti menatap ingatan-ingatan tentang kampung halaman yang berserakan dalam kepalanya, yang kerap gagap ia maknai, dan terkadang gagal menjelma sebagai puisi.

Lalu, ia akan duduk di beranda, sejenak menghela nafas, mengenang perjalanan dan kisah yang sedang ia tuliskan. Sesekali ia teringat dermaga yang bertahun-tahun tak bernama, sesekali terkenang warna langit sore atau selepas subuh, yang Suluh.

Ia tersenyum pada pintu gerbang yang setiap Rabu atau Sabtu malam dipanjatnya, ketika sebagian orang sudah terlelap dalam mimpi-mimpi panjangnya masing-masing. Ia mengenang semuanya. Termasuk dongeng panjang tentang perempuan yang suka menggabar wajah kekasihnya di halaman, yang dikisahkan daun mangga saat angin berhembus pelan atau ketika gerimis kembali mengguyur Tanjungkarang.





Suluh
Buku Kumpulan puisi berbahasa Lampung, Suluh, karya Fitriyani, 2013
Buku puisi berbahasa Lampung, Suluh (2013) karya Fitri Yani mendapatkan Hadiah Sastra Rancage 2014 seperti yang diumumkan Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage Ajip Rosidi, 31 Januari 2014. Kumpulan sajak Fitri Yani tersebut dinilai sarat nuansa kelampungan yang membuatnya terasa lengkap sebagai karya sastra Lampung.

Karena itulah, Suluh yang diterbitkan Lampung Literature, 2013, dipilih dewan juri sebagai peraih Hadiah Sastra Rancage 2014 untuk sastra Lampung. "Bukan saja karena disajikan dalam bahasa Lampung, melainkan juga membicarakan perkara kelampungan. Tak ada satu pun sajak di Suluh yang tidak mengandung warna lokal Lampung, utamanya Lampung Barat," kata Ajip Rosidi.

Torehan prestasi tersebut, merupakan hasil kerja kerasnya selama ini yang terus diprovokatori Ari Pahala Hutabarat untuk mencipta karya sastra Lampung.

"Saya mendengar suara-suara bijak dan pesan yang tersembunyi dari para orangtua, kenyataan-kenyataan hidup muda-mudi yang begitu luas, juga upacara-upacara dan permainan yang membuat saya tertawa dan terkadang merenung, betapa setiap orang selalu memiliki sebuah ruang sunyi untuk menyimpan kenangan," tutur Fitri.


Menuju Suluh



Sekitar tahun 2009-2010, waktu itu ia masih tercatat sebagai mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung, bersama Yessi Sinubulan, ia hadir di pondok sederhana kami, untuk setiap minggu, berkomitmen, berlatih menulis yang kami beri nama Forum Para Pemikir. Memang namanya sedikit bombastis. Tapi tak apa. Ini hanya sebentuk forum menulis kreatif, yang mewajibkan setiap peserta membawa satu karya boleh berupa puisi, prosa, esei, opini, resensi buku, atau apa saja, lalu diapresiasi bersama, satu minggu sekali, tepatnya setiap Kamis sore. Selain Fitri dan Yessy, teman-teman Komunitas Berkat Yakin (Kober) seperti Agit Yogi Subandi, Ahmad Tohamudin, Didi Arsandi, Dedi Apriansyah, Aulia Prayogi, Arya Winanda juga terlibat, dengan Ari Pahala Hutabarat sebagai pembimbingnya.

Pada forum inilah, di sebuah kesempatan Ari Pahala memintanya menulis puisi dalam dalam bahasa Lampung. Ari Pahala menuntutnya bukan semata menulis puisi modern yang dibahasa Lampungkan, tapi mesti seorang gadis Lampung menulis puisi. Barangkali di situlah mulanya, dan baru pada tahun 2013, terwujud juga hajat tersebut. Ia menerbitkan puisi Lampung yang diberi judul ‘Suluh’, dan ditetapkan sebagai salah pemenang Rancage 2014. Suluh, kosa-kata berbahasa Lampung yang berarti ‘merah’. Hadiah Sastra Rancage adalah penghargaan sastra berlevel nasional yang diperuntukkan sastrawan yang dianggap turut serta melestarikan budaya tanah kelahirannya.





Fitri Yani saat menerima Penghargaan Rancage 2014




Pada proses kreatifnya, meski telah lama menulis puisi, Fitri mengaku tak jarang mengalami kesulitan ketika harus menuliskannya dalam bahasa Lampung. “Harus benar-benar belajar dari awal,” ujarnya dengan tatapan yang meyakinkan.

Menurut Fitri, sebelum menulis dalam bahasa Lampung, dia harus mencari metafora-metafora yang biasa dipakai masyarakat Lampung. Alhasil, dia lebih sering menghubungi kedua orang tuanya untuk sekadar bertanya tentang kosakata.

Fitri merasa puas dapat menyuguhkan sebuah karya berbahasa lampung. Dia pun teringat pesan kedua orang tuanya. “Mau belajar bahasa asing apa pun jangan pernah melupakan bahasa Lampung,” katanya menirukan pesan orang tuanya tersebut.

Akan tetapi, Fitri kecewa ketika dirinya menemukan fakta baru saat mengikuti ajang Rancage 2014. “Ternyata sastra Lampung masih jauh tertinggal dari sastra daerah lain,” ujarnya.

Hal tersebut dikatakan Fitri karena dalam ajang penghargaan bagi sastrawan yang menulis dalam berbagai bahasa daerah itu, karya sastra berbahasa Lampung menjadi karya yang paling sedikit. “Hanya ada dua karya sastra berbahasa Lampung yang diajukan, yaitu karya sastrawan Udo Z. Karzi yang menulis bersama Elly Dharmawanti dan karya saya,“ kata Fitri.
Fitri mengaku iri dengan karya sastra daerah lain yang bisa mencapai puluhan karya. Fitri berharap kelak lebih banyak masyarakat Lampung yang tertarik menulis karya karyanya dalam bahasa lampung.

Sebab, menurutnya, hal tersebut dapat mengangkat budaya daerah Lampung di tingkat nasional maupun internasional. Atas dasar ini, Fitri berharap munculnya penulis-penulis baru bidang sastra berbahasa Lampung.



Mengembangkan Tradisi Tulis

Lampung bisa dikatakan cukup beruntung memiliki khazanah budaya serta adat istiadat beragam dan melimpah. Bahkan untuk level Sumatera, Lampung patut berbesar hati karena memiliki aksara tulis sebagai warisan budaya masa lampau. Sayangnya, anugerah tersebut tidak berbanding lurus dengan peninggalan kekayaan tradisi tulis.

Itulah salah satu keresehan Fitri Yani, mulai lampung yang berusaha memberikan kontribusi nyata pada tanah kelahiran melalui goresan tangannya.

Kata demi kata ia susun dalam antologi puisisnya, agar kelak generasi mendatang mendapatkan warisan berharga atas sejarah ke Lampung mereka.

"Bangga sebenarnya karena Lampung ternyata minim manuskrip, hasil budanya tulis masyarakatnya," ungkapnya.

"Beda banget dengan Jawa, Sunda, atau Bali yang punya segudang peninggalan tulis," tuturnya membandingkan.

Meski begitu, ia tidak lantas mengutuk masa lalu atas permasalahan yang terjadi. Ia justru kian termotivasi mencipta karya yang tak lekang oleh waktu sebagai warisan di masa depan. Tergabungnya jebolan FKIP Universitas Lampung ini dengan UKMBS, seakan menjadi titik tolak atas apa yang dicita-citakan selama ini.

Hidup dalam keluarga yang memiliki tradisi tutur yang kuat, perempuan kelahiran Lampung Barat ini mengaku dunia kesustraan bukanlah suatu yang asing. Misalkan, Fitri kecil selalu ditimang sang nenek dengan senandungan puisi Lampung atau ayahnya, yang mengakrabkannya dengan karya seperti Siti Nurbaya.

"Selama itu aku sudah dikenalkan dengan karya sastrawan kenamaan Indonesia. Tapi belum juga mampu untuk menulis seperti itu. Barulah ketika kuliah dengan gabung di UKMBS, kenal dengan seniman Lampung, seolah jalan itu terbuka untuk aku menggeluti dunia kesenian," lanjut Fitri.

Termasuk di dalamnya perkenalan dengan penyair kenamaan Lampung, Ari Pahala Hutabarat, Sosok Ari, menurut Fitri, merupakan sosok yang paling berjasa dalam memotivasinya menjadi seperti saat ini. "Yang selalu diiingat dari bang Ari itu dia pernah bilang kalau aku itu harus bisa jadi besar. Aku yang berusaha jadi penyair di Lampung yang merupakan asli keturunan Lampung, yang mesti didorong untuk menelurkan karya yang berarti," kenang Fitri.

Maka jangan heran, atas semangat itu karya Fitri mampu menghiasi halaman media nasional dan lokal seperti Kompas, Jurnal Nasional, hingga Horison. Karya puisi-puisi Fitri pun telah diterbitkan lewat dua antologi sajaknya yaitu Dermaga Tak Bernama (2010) yang berisikan puisi berbahasa Indonesia. Lalu yang kedua adalah Suluh (2013), antologi puisi berbahasa Lampung.

Khusus karya kedua, Fitri mengatakan, tidak mudah merampunkan pekerjaan yang ia mulai tahun 2009 silam. Kendala bahasa menjadi tantangan tersulit baginya. "Bahasa Lampung itu istimewa, ada beberapa diksi yang tidak memiliki padanan kata Indonesia,' ungkapnya.

Keistimewaan karya Fitri itu yang akhirnya membuat Ari memberikan rekomendasi agar "Suluh" didaftarkan pada ajang Sastra Rancage Award 2014. "Beliau dan rekan-rekan di KoBer memberikan dukungan penuh atas apa yang telah aku mulai," kata Fitri.




Masih tentang Rancage


Kenangan dari Nyambai

Pernah ada pengalaman tak menyenangkan, ketika untaian pantun menelusup ke dalam gendang telinga, sontak tubuhnya panas dingin, bergetar dan merinding, bukan karena tak paham artinya, melainkan ia tak mampu menjawab pantun yang dialamatkan kepadanya. Apa daya, meski sudah beberapa menit berlalu, tetapi tak satu pun bait terlontar dari bibir sang gadis untuk membalasnya. Muka si gadis merah merona karena malu sebab tak mampu mengikuti nyambai hari itu dengan baik, saat ia masih duduk di bangku SMA kelas XII.

Nyambai merupakan kegiatan berbalas pantun antara muli dan mekhanai Lampung saat berlangsungnya acara pernikahan. Budaya ini masih terpelihara di tanah Liwa, tempat kelahiran Fitri Yani. Pengalaman ini yang juga mendorongnya untuk belajar lebih dalam tentang kebudayaan dan bahasa leluhurnya. Meski Fitri mengaku selalu menggunakan bahasa Lampung setiap berkomunikasi dengan anggota keluarganya, ia tak pandai berpantun dalam bahasa Lampung kala itu, berbeda dengan rekan rekan sejawatnya. Terlebih ketika gadis kelahiran 28 Februari 1986 itu memutuskan bersekolah di Bandar Lampung.

Peristiwa itu sudah lama berlalu, tapi rasa malu masih terngiang hingga sekarang, yang menyengatnya, yang memberinya tekad untuk mengenal lebih dalam bahasa ibunya. Dan ‘Suluh’ adalah satu hasilnya. Fitri kini aktif menjadi koordinator kelas menulis di Komunitas Berkat Yakin (Kober), komunitas teater dan sastra yang ada di Bandar Lampung.

Sastra memang menjadi panggung yang membesarkan namanya. Alumnus SMAN 8 Bandar Lampung ini beberapa kali mengikuti lomba penulisan puisi dan menjadi juara. Lalu Fitri tergabung di Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Seni (UKMBS) Unila.

Tak sedikit pengalaman yang dirinya peroleh. Bergabung dengan komunitas yang akhirnya mengenalkannya kepada sastrawan sastrawan Lampung seperti Isbedy Stiawan, Iswadi Pratama, Inggit Putria Margha, Jimmy Maruli Alfian, Arman Az, dan Ari Pahala Hutabarat.

Pada 2009 Fitri berkesempatan untuk hadir dalam Radar Bali Literary Award, sebuah penghargaan, karena karya puisinya yang berjudul Di Depan Pintu Pertokoan menjadi lima terbaik nasional.

Tak hanya itu, Fitri juga kerap mendapatkan undangan dalam berbagai pertemuan sastrawan baik nasional maupun internasional, pada 2012 lalu dirinya diundang pada Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antarbangsa, di Pangkor, Malaysia, bersama dengan Isbedy Stiawan, dan masih banyak lagi event-event sastra nasional yang ia ikuti.

Di tengah kesibukan dan rutinitasnya yang kini menjadi pengajar di SMP Global Surya, Fitri kini menjadi koordinator kelas menulis di Kober yang sejak 2009 dia ikuti. Di Kober-lah Fitri mengaku memulai menulis berbagai puisi dalam bahasa Lampung. “Saat itu Ari Pahala Hutabarat yang pertama kali menyarankan,” ujarnya.


Forum Menulis Kreatif



Creative Writing di Komunitas Berkat Yakin, KoBER

Jika sebagian besar orang menganggap menulis adalah mengandalkan inspirasi, Fitri adalah orang yang tak sepakat dengan pernyataan tersebut. “Tak selamanya menulis itu hanya mengandalkan inspirasi, tetapi pengetahuan jauh lebih penting,” ujarnya.

Maka itu, untuk menjadi seorang penulis, menurut Fitri, seseorang mesti banyak memiliki referensi dan giat berlatih. Hal tersebut yang diakuinya menjadi bekal menulis selama ini.

Sejak SMP Fitri senang membaca. Berbagai buku bacaan menjadi langgananya. Hal tersebut yang menurutnya berpengaruh dengan kemampuanya menulis sampai saat ini.

Selain itu, sejak di bangku sekolah ia kerap menulis buku harian. “Bertumpuk-tumpuk buku harian masih saya simpan,” kata Fitri sambil mengembangkan senyumnya. Buku-buku yang menjadi bukti menulis menjadi rutinitasnya sejak lama.

Selain itu, menurut Fitri, menulis juga membutuhkan guru. Hal tersebutlah yang akhirnya membuatnya memutuskan untuk bergabung dengan komunitas menulis di Kober. Sebab, di komunitas tersebut Fitri mendapat pengetahuan dari para seniornya di bidang sastra.

Kini setiap Rabu dan Sabtu malam Fitri selalu hadir di sebuah rumah yang berlokasi di daerah Gunungterang, Bandar Lampung, itu. Di Sekretariat Kober itu dirinya rutin berlatih bersama dengan beberapa penulis lain. Merangkai kata demi kata hingga menjadi karya abadi.




Buku Kumpulan Puisi Fitri Yani, 2010


Biodata

Nama: Fitri Yani
Tempat tanggal lahir: Lampung Barat, 28 Februari 1986.
Pendidikan: Universitas Lampung
Pekerjaan: Pengajar di Global Surya.
Pengalaman di Bidang Seni
- UKMBS Unila, Teater Kususetra
- Komunitas Berkat Yakin (KoBer)

Pengalaman: Tergabung dalam 60 puisi terbaik Indonesia dalam ajang Pena Kencana Award 2009. Tergabung dalam 5 puisi terbaik ajang Radar Bali Literary Award 2009). Pertemuan Penyair Nusantara V and VI ini Palembang and Jambi 2011 dan 2012. Ubud Writers and Readers Festival, Bali, tahun 2011. Temu Sastrawan Indonesia IV, Ternate tahun 2011. Poetry Festival and Folk Songs. Pangkor Malaysia, tahun 2012, Peraih Hadiah Sastra Rancage 2014.


Karya:
- Dermaga Tak Bernama (antologi sajak, 2010)
- Suluh (kumpulan sajak Lampung, 2013)

Sumber:

Inspirasi, Lampung Post, Sabtu, 8 Maret 2014

Smart Women, Tribun Lampung, Minggu, 9 Februari 2014

Diambil dari :http://www.wartaseni.com/2015/02/fitri-yani-guru-plus-penyair-gerakan.html

No comments:

Post a Comment

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara