Ayam Jantan Taji
Cerpen Fitri Yani
Taji senang mendengar ayam-ayamnya berkokok,
setiap suara yang dikeluarkan ayam-ayam itu memiliki makna tersendiri bagi
Taji. Tujuh ekor ayam jantan itu serempak mengeluarkan suara nyaring mirip
lengkingan yang memekakkan telinga, dan pada saat yang sama mereka bersuara
lembut seperti petikan gitar klasik di kejauhan. Mereka mengebas-ngebaskan
sayap sebanyak tujuh kali lalu bersahut-sahutan setiap pukul empat pagi. Dan
yang membuat bocah sepuluh tahun itu lebih senang, ayam-ayam jantan itu senantiasa
berkokok saat fajar berpijar, seakan menyongsong harapan yang dibukakan oleh
langit.
Lalu siang hari ayam-ayam itu akan kembali
bersahut-sahutan seakan menandai wilayah kekuasaan dan pamer kepada para
betina. Kokok terakhir akan terdengar menjelang matahari terbenam sebelum
akhirnya mereka digiring dan berakhir di dalam kandang sepanjang malam.
Suara-suara itulah yang selalu didengar Taji
sejak pertama kali ia bisa megingat dan mendengar, selain suara alu ibunya yang
beradu dengan lesung di halaman belakang rumah. Juga suara khusuk ayahnya melantunkan
ayat-ayat suci Al-Qur’an di surau yang letaknya tak jauh dari rumah panggung
mereka, saban magrib hingga isya serta menjelang subuh. Namun, saat angin awal februari
1989 mengetuk-ngetuk daun jendela, dua kali subuh ayam-ayam jantan itu tak
berkokok dan bergeming di dalam kandang, meski fajar telah merekahkan diri.
Barangkali ada puluhan musang yang mengintai
mereka dari balik kandang dan membuat ayam-ayam itu ketakutan. Musang-musang
itu barangkali telah menahan air liur membayangkan daging ayam-ayam jantan yang
empuk, pikir Taji. Karena itulah, sebelum azan subuh berkumandang ia bangun dan
bergegas ke halaman belakang rumah, ke kandang ayam-ayamnya. Ia ingin memastikan
mengapa ayam-ayamnya dari kemarin tidak berkokok seperti biasa. Taji telah
menyiapkan batu-batu kerikil dan akan melempar musang-musang itu seperti
melempar batu jumrah.
Setelah berada di halaman belakang rumah, di
dekat kandang ayam-ayam jantan, tak ada musang yang mengganggu, tak ada apa pun
selain dua rumpun pohon pisang di dalam gelap. Taji membuka celah bambu di
samping pintu kandang lalu menajamkan pandangannya ke dalam, ayam-ayamnya masih
berada di sana seperti biasa, hinggap pada bambu yang disilang diagonal di
tengah kandang. Taji menyalakan senternya ke arah mata ayam-ayam jantan itu,
namun mereka tetap bergeming saat melihat cahaya.
Lama Taji termenung di samping pintu kandang
sambil mendekapkan tangannya ke dada. Saat itu Taji belum memahami bahwa
sesungguhnya ada rahasia kosmik yang tengah berlangsung di situ. Ayam-ayam
jantan itu seakan tak kuasa menahan tanda-tanda duka yang susul-menyusul menyusupi
indera mereka. Dan Taji tak menyadari bahwa bulu-bulu ayam-ayam itu rontok
masing-masing tiga helai. Ia tak sampai pada pemahaman tentang gelisahnya
ayam-ayam itu, yang ia tahu hanyalah seharusnya ayam-ayam itu berkokok
sahut-menyahut subuh itu, membangunkan Kampung Talangsari.
Lalu cahaya kemerahan mulai menampakkan diri di
balik bukit-bukit yang senantiasa berbaris. Atap-atap rumah bermunculan,
asap-asap dapur mengepul, anak-anak menimba air di sumur.
***
Jika saja Taji tahu, pada malam sebelumnya, saat
ia terlelap dan dibuai mimpi, seorang lelaki berseragam dari kota telah dipanah
oleh orang-orang di kampungnya lalu dikuburkan di balik rumpun bambu di pinggir
rawa. Lelaki berseragam bersama beberapa anak buahnya itu telah membuat orang-orang
kampung naik pitam dan melepaskan anak panah, lantaran berteriak-teriak dan
mengacung-acungkan senapan ke arah surau, tempat ayahnya tengah mengaji bersama
beberapa orang yang dituakan oleh kampung.
“Jangan pernah usik kampung kami!” teriak seorang
lelaki yang berselempang sarung.
Dan andai Taji tahu bahwa ayam-ayam jantan itu
mendengar teriakan ratusan peluru yang siap menyiram kampungnya dengan kobaran
api dan pekik tangis yang akan membubung hingga angkasa. Peluru-peluru itu
merintih dalam kegelapan, “Kami akan menembus jantung manusia-manusia tak
berdosa yang tengah khusuk berdoa.”
“Kami akan terlepas sia-sia dari tangan-tangan yang
menganggap diri mereka berkuasa dan membunuh entah untuk siapa.”
“Kami akan menanam dendam beberapa generasi yang
akan dikuburkan.”
Jika saja Taji memahami duka yang disimpan
ayam-ayam itu, ia akan tahu bahwa orang-orang di kampungnya akan dilenyapkan
dalam lautan peluru dan api, dan ayahnya, sang pembuka pintu kandang para ayam
jantan, akan dipancung dan dibiarkan membusuk di antara ratusan mayat lainnya
karena dianggap membangkang pada negara. Juga ibunya, yang senantiasa menebarkan
biji-biji jagung bagi ayam-ayam peliharaan mereka, akan dipaksa melepas
kerudung lalu disiksa hingga mati.
Semua tanda yang akan tiba itu tak bisa didengar
oleh Taji dan oleh siapa pun di kampung itu. Ayam-ayam itu tetap merinok[1]
seperti mandangan[2]
di dalam kandang. Lalu pagi makin terang. Ladang-ladang jagung dan singkong
melambai-lambai dimainkan tangan-tangan angin.
***
Kampung yang dingin itu kehilangan suara. Saat
itu usai solat subuh, peluru-peluru menyiram kampung. Pekik tangis pecah ke
angkasa. Ribuan orang berseragam yang dirasuki setan dendam mengepung kampung
dengan senapan dari semua penjuru. Ayam-ayam Taji mengebas-ngebaskan sayap
namun tetap tak berkokok, mereka melihat cahaya membubung di rumah-rumah
penduduk.
Jika saja subuh itu Taji tak melihat salah satu
ayam jantannya tiba-tiba terkapar, ia tak akan masuk ke dalam kandang dan
memeluk ayam kesayangannya itu dengan penuh kasih.
Jika saja Taji tidak tertidur dan keluar dari
kandang, ia akan menjadi salah satu anak yang disuruh menunjukkan pondok-pondok
berisi ratusan jemaah dan dipaksa membakar pondok-pondok itu. Ia akan
menyaksikan orang-orang berseragam hijau dan cokelat membantai para remaja dan
menarik kerudung para wanita.
“Ini istri-istri mujahidin, perempuan dan
anak-anak ini harus dibunuh, karena akan tumbuh lagi nantinya!”
Ia akan menangisi ayahnya, Warsidi, yang dianggap
pengobar semangat penduduk kampung untuk mendirikan Negara Islam dan menentang
Pancasila, saat ditebas lehernya dengan parang di antara ratusan mayat lainnya.
Ia akan meratapi ibunya yang dilepas kerudungnya dan dipukul hingga lebam dan
dihujani pertanyaan, “Ikut pengajian apa? Apa yang diajarkan? Gurunya siapa?”
Ribuan orang berseragam menyerbu kampung yang
dikelilingi kebun singkong dan jagung yang sangat tenang itu. Mereka membakar
dendam sambil menghentak-hentakkan kaki dan mengacung-acungkan senapan, seolah
mereka adalah pahlawan abdi negara.
Tentu saja ratusan penduduk kampung yang hanya
menggunakan golok dan tombak itu mati sia-sia dan tertembus ribuan peluru.
Usai membantai Warsidi dan ratusan penduduk, kau
tahu, orang-orang berseragam itu menggiring dua puluh wanita paruh baya ke kota
seperti menggiring sapi-sapi tua yang telah lelah dan ringkih.
“Bunuh saja wanita-wanita ini!”
Namun ketua barisan orang-orang berseragam yang
matanya merah mirip mata iblis itu berkata, “Mereka akan bersaksi untuk hal-hal
yang akan segera mereka lupakan.”
Suara-suara peluru
dan jerit tangis yang sesaat itu hilang bersamaan dengan terbangunnya Taji di
dalam kandang, yang mendekap ayam kesayangannya yang mendadak mati. Ladang
jagung dan singkong penuh darah, rumput-rumput di jalan setapak layu karena
terinjak-injak. Asap-asap murung mulai hilang di antara reruntuhan rumah
panggung yang dibakar.
Saat matahari mulai muncul dari balik bukit-bukit
yang berbaris muram, segaris cahaya menghampiri mata Taji dari celah dinding
kandang. Keenam ayam-ayamnya terbaring di sampingnya. Apakah ayam-ayam ini tak
bisa lagi melihat cahaya, pikirnya.
Taji keluar kandang memapah ayam-ayam jantannya.
Tanjungkarang, 13 Desember 2014
Cerpen Fitri Yani |
No comments:
Post a Comment