Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sunday, March 29, 2015

Cerpen Lampung Post, 22 Maret 2015



Ayam Jantan Taji
Cerpen Fitri Yani


Taji senang mendengar ayam-ayamnya berkokok, setiap suara yang dikeluarkan ayam-ayam itu memiliki makna tersendiri bagi Taji. Tujuh ekor ayam jantan itu serempak mengeluarkan suara nyaring mirip lengkingan yang memekakkan telinga, dan pada saat yang sama mereka bersuara lembut seperti petikan gitar klasik di kejauhan. Mereka mengebas-ngebaskan sayap sebanyak tujuh kali lalu bersahut-sahutan setiap pukul empat pagi. Dan yang membuat bocah sepuluh tahun itu lebih senang, ayam-ayam jantan itu senantiasa berkokok saat fajar berpijar, seakan menyongsong harapan yang dibukakan oleh langit.

Lalu siang hari ayam-ayam itu akan kembali bersahut-sahutan seakan menandai wilayah kekuasaan dan pamer kepada para betina. Kokok terakhir akan terdengar menjelang matahari terbenam sebelum akhirnya mereka digiring dan berakhir di dalam kandang sepanjang malam.

Suara-suara itulah yang selalu didengar Taji sejak pertama kali ia bisa megingat dan mendengar, selain suara alu ibunya yang beradu dengan lesung di halaman belakang rumah. Juga suara khusuk ayahnya melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an di surau yang letaknya tak jauh dari rumah panggung mereka, saban magrib hingga isya serta menjelang subuh. Namun, saat angin awal februari 1989 mengetuk-ngetuk daun jendela, dua kali subuh ayam-ayam jantan itu tak berkokok dan bergeming di dalam kandang, meski fajar telah merekahkan diri.

Barangkali ada puluhan musang yang mengintai mereka dari balik kandang dan membuat ayam-ayam itu ketakutan. Musang-musang itu barangkali telah menahan air liur membayangkan daging ayam-ayam jantan yang empuk, pikir Taji. Karena itulah, sebelum azan subuh berkumandang ia bangun dan bergegas ke halaman belakang rumah, ke kandang ayam-ayamnya. Ia ingin memastikan mengapa ayam-ayamnya dari kemarin tidak berkokok seperti biasa. Taji telah menyiapkan batu-batu kerikil dan akan melempar musang-musang itu seperti melempar batu jumrah.

Setelah berada di halaman belakang rumah, di dekat kandang ayam-ayam jantan, tak ada musang yang mengganggu, tak ada apa pun selain dua rumpun pohon pisang di dalam gelap. Taji membuka celah bambu di samping pintu kandang lalu menajamkan pandangannya ke dalam, ayam-ayamnya masih berada di sana seperti biasa, hinggap pada bambu yang disilang diagonal di tengah kandang. Taji menyalakan senternya ke arah mata ayam-ayam jantan itu, namun mereka tetap bergeming saat melihat cahaya.

Lama Taji termenung di samping pintu kandang sambil mendekapkan tangannya ke dada. Saat itu Taji belum memahami bahwa sesungguhnya ada rahasia kosmik yang tengah berlangsung di situ. Ayam-ayam jantan itu seakan tak kuasa menahan tanda-tanda duka yang susul-menyusul menyusupi indera mereka. Dan Taji tak menyadari bahwa bulu-bulu ayam-ayam itu rontok masing-masing tiga helai. Ia tak sampai pada pemahaman tentang gelisahnya ayam-ayam itu, yang ia tahu hanyalah seharusnya ayam-ayam itu berkokok sahut-menyahut subuh itu, membangunkan Kampung Talangsari.

Lalu cahaya kemerahan mulai menampakkan diri di balik bukit-bukit yang senantiasa berbaris. Atap-atap rumah bermunculan, asap-asap dapur mengepul, anak-anak menimba air di sumur.

***
Jika saja Taji tahu, pada malam sebelumnya, saat ia terlelap dan dibuai mimpi, seorang lelaki berseragam dari kota telah dipanah oleh orang-orang di kampungnya lalu dikuburkan di balik rumpun bambu di pinggir rawa. Lelaki berseragam bersama beberapa anak buahnya itu telah membuat orang-orang kampung naik pitam dan melepaskan anak panah, lantaran berteriak-teriak dan mengacung-acungkan senapan ke arah surau, tempat ayahnya tengah mengaji bersama beberapa orang yang dituakan oleh kampung.

“Jangan pernah usik kampung kami!” teriak seorang lelaki yang berselempang sarung.

Dan andai Taji tahu bahwa ayam-ayam jantan itu mendengar teriakan ratusan peluru yang siap menyiram kampungnya dengan kobaran api dan pekik tangis yang akan membubung hingga angkasa. Peluru-peluru itu merintih dalam kegelapan, “Kami akan menembus jantung manusia-manusia tak berdosa yang tengah khusuk berdoa.” 

“Kami akan terlepas sia-sia dari tangan-tangan yang menganggap diri mereka berkuasa dan membunuh entah untuk siapa.”

“Kami akan menanam dendam beberapa generasi yang akan dikuburkan.”

Jika saja Taji memahami duka yang disimpan ayam-ayam itu, ia akan tahu bahwa orang-orang di kampungnya akan dilenyapkan dalam lautan peluru dan api, dan ayahnya, sang pembuka pintu kandang para ayam jantan, akan dipancung dan dibiarkan membusuk di antara ratusan mayat lainnya karena dianggap membangkang pada negara. Juga ibunya, yang senantiasa menebarkan biji-biji jagung bagi ayam-ayam peliharaan mereka, akan dipaksa melepas kerudung lalu disiksa hingga mati.

Semua tanda yang akan tiba itu tak bisa didengar oleh Taji dan oleh siapa pun di kampung itu. Ayam-ayam itu tetap merinok[1] seperti mandangan[2] di dalam kandang. Lalu pagi makin terang. Ladang-ladang jagung dan singkong melambai-lambai dimainkan tangan-tangan angin.

***
Kampung yang dingin itu kehilangan suara. Saat itu usai solat subuh, peluru-peluru menyiram kampung. Pekik tangis pecah ke angkasa. Ribuan orang berseragam yang dirasuki setan dendam mengepung kampung dengan senapan dari semua penjuru. Ayam-ayam Taji mengebas-ngebaskan sayap namun tetap tak berkokok, mereka melihat cahaya membubung di rumah-rumah penduduk.

Jika saja subuh itu Taji tak melihat salah satu ayam jantannya tiba-tiba terkapar, ia tak akan masuk ke dalam kandang dan memeluk ayam kesayangannya itu dengan penuh kasih.

Jika saja Taji tidak tertidur dan keluar dari kandang, ia akan menjadi salah satu anak yang disuruh menunjukkan pondok-pondok berisi ratusan jemaah dan dipaksa membakar pondok-pondok itu. Ia akan menyaksikan orang-orang berseragam hijau dan cokelat membantai para remaja dan menarik kerudung para wanita.

“Ini istri-istri mujahidin, perempuan dan anak-anak ini harus dibunuh, karena akan tumbuh lagi nantinya!”

Ia akan menangisi ayahnya, Warsidi, yang dianggap pengobar semangat penduduk kampung untuk mendirikan Negara Islam dan menentang Pancasila, saat ditebas lehernya dengan parang di antara ratusan mayat lainnya. Ia akan meratapi ibunya yang dilepas kerudungnya dan dipukul hingga lebam dan dihujani pertanyaan, “Ikut pengajian apa? Apa yang diajarkan? Gurunya siapa?”

Ribuan orang berseragam menyerbu kampung yang dikelilingi kebun singkong dan jagung yang sangat tenang itu. Mereka membakar dendam sambil menghentak-hentakkan kaki dan mengacung-acungkan senapan, seolah mereka adalah pahlawan abdi negara.

Tentu saja ratusan penduduk kampung yang hanya menggunakan golok dan tombak itu mati sia-sia dan tertembus ribuan peluru.

Usai membantai Warsidi dan ratusan penduduk, kau tahu, orang-orang berseragam itu menggiring dua puluh wanita paruh baya ke kota seperti menggiring sapi-sapi tua yang telah lelah dan ringkih.

“Bunuh saja wanita-wanita ini!”

Namun ketua barisan orang-orang berseragam yang matanya merah mirip mata iblis itu berkata, “Mereka akan bersaksi untuk hal-hal yang akan segera mereka lupakan.”

Suara-suara peluru dan jerit tangis yang sesaat itu hilang bersamaan dengan terbangunnya Taji di dalam kandang, yang mendekap ayam kesayangannya yang mendadak mati. Ladang jagung dan singkong penuh darah, rumput-rumput di jalan setapak layu karena terinjak-injak. Asap-asap murung mulai hilang di antara reruntuhan rumah panggung yang dibakar.

Saat matahari mulai muncul dari balik bukit-bukit yang berbaris muram, segaris cahaya menghampiri mata Taji dari celah dinding kandang. Keenam ayam-ayamnya terbaring di sampingnya. Apakah ayam-ayam ini tak bisa lagi melihat cahaya, pikirnya.

Taji keluar kandang memapah ayam-ayam jantannya.


Tanjungkarang, 13 Desember 2014





[1] Tak berdaya
[2] Ayam yang sakit

Cerpen Fitri Yani

No comments:

Post a Comment

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara