Ketika Julia Sedang Berusaha Menenangkan Diri
Cerpen:
Fitri Yani
Sekarang pukul
sembilan malam dan seorang perempuan duduk seorang diri di sebuah kafe. Ia
sedang tenggelam dalam buku bacaannya ketika seorang lelaki yang semula duduk
di belakangnya datang menghampiri.
“Boleh pinjam
koreknya?”
Perempuan itu
mengalihkan pandangan dari buku, mengangguk, lalu menyodorkan koreknya ke
tangan si lelaki.
“Terima kasih,”
ujar si lelaki, menyalakan rokok lalu mengembalikan korek pada pemiliknya.
Perempuan menaruh kembali koreknya di samping asbak begitu laki-laki itu
kembali ke mejanya, ia kembali tenggelam dalam bacaan sambil sesekali menghisap
rokoknya dalam-dalam.
Tak banyak
pengunjung di kafe itu, terutama selasa malam, orang-orang lebih suka
menghabiskan waktunya beristirahat di rumah. Perempuan itu sering menghabiskan
waktunya hingga larut malam di situ karena suasananya tenang dan malam itu ia ingin
menenangkan hatinya. Terkadang ia membaca buku atau menyelesaikan tulisannya di
depan laptop. Laki-laki yang duduk di belakang si perempuan tahu bahwa tulisan
perempuan itu hampir setiap minggu muncul di surat kabar dan di kafe itu mereka
sama-sama sendiri.
Merasa sedang
diawasi dari belakang, si perempuan menutup bukunya lalu memanggil pelayan.
“Aku mau french fries dan koktail mimosa.”
Pelayan sudah
siap-siap sebelumnya untuk mencatat pesanan si perempuan, “Gelas kopinya mau
saya bawa, Mbak?”
“Tidak, nanti
saja.”
Si laki-laki
juga ikut menyebutkan pesanannya begitu pelayan itu hendak beranjak dari meja
si perempuan, “Saya juga mau french fries,
yang original saja.”
Si perempuan
menoleh sekilas ke belakang, si laki-laki tersenyum.
“Ada lagi?” tanya
si pelayan.
“Coca-cola ya, pakai es batu.”
Si pelayan mencatat
pesanan laki-laki kemudian pergi ke belakang.
Si laki-laki
berdehem, lalu, “Julia, saya suka baca tulisan-tulisanmu di koran minggu,”
ujarnya. “Saya suka cerpenmu di kompas kemarin.”
Si perempuan
kembali menoleh, “Terima kasih,” ujarnya, “jarang ada yang mengenalku dan
mengingat tulisan-tulisanku.”
Si lelaki
tersenyum, “Sebenarnya saya sering lihat kamu di sini,” ujarnya. “Ngomong-ngomong, terima kasih korek api
tadi ya.”
Julia mengangguk
lalu kembali menajamkan pandangannya ke buku, tapi ia telah kehilangan begitu
banyak alinea. Kata-kata seolah berlompatan seperti anak kelinci di padang
rumput yang hijau. Anak-anak kelinci itu tampak bersih dan menggemaskan dan ia
begitu kepayahan mengejar kesana-kemari. Sesekali ia mengendap-endap di balik
rumput, menunggu, dan menyiapkan kekuatan untuk menangkap mereka, tapi begitu
menyadari kehadirannya, kelinci-kelinci itu kembali melompat kocar-kacir. Julia
mencoba mengumpulkan kembali huruf-huruf yang seharusnya sudah selesai
dibacanya. Namun akhirnya ia menyerah,
ditandainya halaman buku lalu diletakkannya di meja. Ia mematikan rokoknya di
asbak hingga tak ada asap sama sekali.
Pintu kafe
terbuka, empat perempuan masuk, mereka mengenakan pakaian yang serba mini dan
aksesoris yang mencolok. Perempuan-perempuan metropolis. Mereka duduk di
seberang meja Julia dan terlibat dalam perbincangan yang seru.
Beberapa saat
kemudian pelayan datang, meletakkan french
fries dan koktail mimosa dari nampan cokelat yang dilapisi kanvas pendingin
yang berembun ke meja Julia, lalu beralih ke meja si laki-laki, meletakkan french fries, coca-cola dan gelas berisi es batu.
Julia menikmati
makanannya. Si laki-laki menerima telpon.
“Sudahlah, Gina,
apa penjelasanku tadi belum cukup?”
Diam beberapa
saat, lalu, “Aku gak suka bahas ini
di telpon.”
Julia mulai
menyesap koktail mimosanya lalu kembali membuka buku, laki-laki di belakangnya
terdengar menghela nafas panjang, kemudian bicara lagi, “Oke aku di Kafe
Merdeka,” ujarnya, “aku tunggu di sini.”
Kini hanya ada
suara dari meja di seberang meja Julia. Dari jendela kaca terlihat lampu-lampu
kendaraan yang bergerak lambat, ia telah kehilangan selera untuk membaca tapi
entah mengapa masih belum mau beranjak dari kafe itu. Abu di asbaknya sudah
bertambah.
Pintu kafe
kembali terbuka, Julia tidak mendongak. Seseorang berjalan kearahnya,
melewatinya, lalu satu bangku di belakangnya terdengar digeser. Ia mencoba
terus fokus dengan bukunya dan dua orang di belakangnya memulai percakapan.
“Kau tidak perlu
menghindar sebenarnya.”
“Aku tidak
menghindar, Gina, hanya menenangkan diri,” kata si laki-laki datar.
Pelayan
menghampiri mereka menanyakan pesanan si perempuan yang baru datang.
“Nanti saja, aku
belum ingin pesan apa-apa.”
Pelayan kembali
ke belakang. Beberapa saat kemudiam si laki-laki bersuara, “Kita sudah
sama-sama berusaha untuk bertahan,” katanya. “Dan semua ini membuatku letih.”
Si perempuan
terdengar menghela nafas, “Baiklah,” ujarnya. Hening beberapa saat. “Apa kau
masih mau menyimpan cincin itu?” tanyanya kemudian.
Laki-laki diam.
“Kau boleh
membuangnya jika ingin,” ujar si perempuan.
“Ya, kau juga
berhak melakukan hal yang sama.”
Toilet berada di
belakang lelaki dan perempuan itu dan Julia harus melewati mereka untuk menuju
ke sana. Ia bangkit, memutar tubuh lalu berjalan seolah tak pernah mendengar
percakapan mereka, matanya fokus ke pintu toilet.
Toiletnya bersih
dan wangi, berlantai batu-batu kali berwarna hitam. Ia mengamati wajahnya di
depan cermin setelah mencuci tangannya di wastafel,
“Mengapa aku begitu terganggu? Bukankah kejadian itu sudah lama sekali...”
Julia keluar
setelah merasa tenang dan kembali ke mejanya. Sekilas ia melihat laki-laki dan perempuan itu menatap kosong ke luar
jendela. Ia kembali menyulut rokok baru dan membuka bukunya.
Si lelaki
terdengar menghela nafas panjang, “Kalau kau mau, kau masih bisa membuatkanku
puding cokelat,” katanya.
“Puding buatanku
tidak pernah enak,” ujar si perempuan. “Lagi pula aku akan lebih sibuk dengan lukisan-lukisanku.”
“Ya, aku senang
jika kau tetap produktif.”
“Kau juga harus
meneruskan cita-citamu.”
“Aku tahu, tapi
aku minta maaf,” kata si laki-laki. “Percayalah, ini bukan hanya lukamu
sendiri,” tambahnya.
Si perempuan
menyenderkan tubuhnya ke kursi dan berdiam diri sebentar, “Mulailah menata masa
depanmu sendiri,” ujarnya.
Kini tak ada
lagi suara, Julia membalik halaman bukunya. Suara kursi di belakangnya kembali
digeser, lalu perempuan itu melewatinya menuju pintu keluar. Sempat dilihatnya
perempuan itu menghapus air mata dengan ujung jari. Laki-laki di belakangnya
tidak mengejar.
Julia menghisap
rokoknya dalam-dalam lalu mematikannya di asbak. Setelah menghabiskan
minumannya, ia membereskan buku ke dalam tas. Kini ia yakin akan beranjak dari
situ dan merasa seakan-akan telah menenangkan perasaannya. Dia ingin
cepat-cepat pulang dan berbaring di tempat tidurnya, dan akhirnya, hingga pagi
barangkali ia akan kembali mengalami insomnia.
“Maaf, boleh
pinjam koreknya lagi?” si laki-laki tiba-tiba sudah berdiri di samping mejanya.
Bandarlampung, 09 Juni 2014
Cerpen yang bagus
ReplyDelete