Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Sunday, March 29, 2015

Cerpen Lampung Post 26 Oktober 2014



Ketika Julia Sedang Berusaha Menenangkan Diri
Cerpen: Fitri Yani


Sekarang pukul sembilan malam dan seorang perempuan duduk seorang diri di sebuah kafe. Ia sedang tenggelam dalam buku bacaannya ketika seorang lelaki yang semula duduk di belakangnya datang menghampiri. 
“Boleh pinjam koreknya?”
Perempuan itu mengalihkan pandangan dari buku, mengangguk, lalu menyodorkan koreknya ke tangan si lelaki. 
“Terima kasih,” ujar si lelaki, menyalakan rokok lalu mengembalikan korek pada pemiliknya. Perempuan menaruh kembali koreknya di samping asbak begitu laki-laki itu kembali ke mejanya, ia kembali tenggelam dalam bacaan sambil sesekali menghisap rokoknya dalam-dalam. 
Tak banyak pengunjung di kafe itu, terutama selasa malam, orang-orang lebih suka menghabiskan waktunya beristirahat di rumah. Perempuan itu sering menghabiskan waktunya hingga larut malam di situ karena suasananya tenang dan malam itu ia ingin menenangkan hatinya. Terkadang ia membaca buku atau menyelesaikan tulisannya di depan laptop. Laki-laki yang duduk di belakang si perempuan tahu bahwa tulisan perempuan itu hampir setiap minggu muncul di surat kabar dan di kafe itu mereka sama-sama sendiri.  
Merasa sedang diawasi dari belakang, si perempuan menutup bukunya lalu memanggil pelayan. 
“Aku mau french fries dan koktail mimosa.”
Pelayan sudah siap-siap sebelumnya untuk mencatat pesanan si perempuan, “Gelas kopinya mau saya bawa, Mbak?” 
“Tidak, nanti saja.”
Si laki-laki juga ikut menyebutkan pesanannya begitu pelayan itu hendak beranjak dari meja si perempuan, “Saya juga mau french fries, yang original saja.” 
Si perempuan menoleh sekilas ke belakang, si laki-laki tersenyum.
“Ada lagi?” tanya si pelayan.
Coca-cola ya, pakai es batu.”
Si pelayan mencatat pesanan laki-laki kemudian pergi ke belakang.
Si laki-laki berdehem, lalu, “Julia, saya suka baca tulisan-tulisanmu di koran minggu,” ujarnya. “Saya suka cerpenmu di kompas kemarin.”
Si perempuan kembali menoleh, “Terima kasih,” ujarnya, “jarang ada yang mengenalku dan mengingat tulisan-tulisanku.”
Si lelaki tersenyum, “Sebenarnya saya sering lihat kamu di sini,” ujarnya. “Ngomong-ngomong, terima kasih korek api tadi ya.” 
Julia mengangguk lalu kembali menajamkan pandangannya ke buku, tapi ia telah kehilangan begitu banyak alinea. Kata-kata seolah berlompatan seperti anak kelinci di padang rumput yang hijau. Anak-anak kelinci itu tampak bersih dan menggemaskan dan ia begitu kepayahan mengejar kesana-kemari. Sesekali ia mengendap-endap di balik rumput, menunggu, dan menyiapkan kekuatan untuk menangkap mereka, tapi begitu menyadari kehadirannya, kelinci-kelinci itu kembali melompat kocar-kacir. Julia mencoba mengumpulkan kembali huruf-huruf yang seharusnya sudah selesai dibacanya. Namun  akhirnya ia menyerah, ditandainya halaman buku lalu diletakkannya di meja. Ia mematikan rokoknya di asbak hingga tak ada asap sama sekali. 
Pintu kafe terbuka, empat perempuan masuk, mereka mengenakan pakaian yang serba mini dan aksesoris yang mencolok. Perempuan-perempuan metropolis. Mereka duduk di seberang meja Julia dan terlibat dalam perbincangan yang seru. 
Beberapa saat kemudian pelayan datang, meletakkan french fries dan koktail mimosa dari nampan cokelat yang dilapisi kanvas pendingin yang berembun ke meja Julia, lalu beralih ke meja si laki-laki, meletakkan french fries, coca-cola dan gelas berisi es batu.  
Julia menikmati makanannya. Si laki-laki menerima telpon. 
“Sudahlah, Gina, apa penjelasanku tadi belum cukup?”
Diam beberapa saat, lalu, “Aku gak suka bahas ini di telpon.”
Julia mulai menyesap koktail mimosanya lalu kembali membuka buku, laki-laki di belakangnya terdengar menghela nafas panjang, kemudian bicara lagi, “Oke aku di Kafe Merdeka,” ujarnya, “aku tunggu di sini.”
Kini hanya ada suara dari meja di seberang meja Julia. Dari jendela kaca terlihat lampu-lampu kendaraan yang bergerak lambat, ia telah kehilangan selera untuk membaca tapi entah mengapa masih belum mau beranjak dari kafe itu. Abu di asbaknya sudah bertambah.
Pintu kafe kembali terbuka, Julia tidak mendongak. Seseorang berjalan kearahnya, melewatinya, lalu satu bangku di belakangnya terdengar digeser. Ia mencoba terus fokus dengan bukunya dan dua orang di belakangnya memulai percakapan.
“Kau tidak perlu menghindar sebenarnya.”
“Aku tidak menghindar, Gina, hanya menenangkan diri,” kata si laki-laki datar.
Pelayan menghampiri mereka menanyakan pesanan si perempuan yang baru datang.
“Nanti saja, aku belum ingin pesan apa-apa.” 
Pelayan kembali ke belakang. Beberapa saat kemudiam si laki-laki bersuara, “Kita sudah sama-sama berusaha untuk bertahan,” katanya. “Dan semua ini membuatku letih.” 
Si perempuan terdengar menghela nafas, “Baiklah,” ujarnya. Hening beberapa saat. “Apa kau masih mau menyimpan cincin itu?” tanyanya kemudian.
Laki-laki diam.
“Kau boleh membuangnya jika ingin,” ujar si perempuan. 
“Ya, kau juga berhak melakukan hal yang sama.”
Toilet berada di belakang lelaki dan perempuan itu dan Julia harus melewati mereka untuk menuju ke sana. Ia bangkit, memutar tubuh lalu berjalan seolah tak pernah mendengar percakapan mereka, matanya fokus ke pintu toilet. 
Toiletnya bersih dan wangi, berlantai batu-batu kali berwarna hitam. Ia mengamati wajahnya di depan cermin setelah mencuci tangannya di wastafel, “Mengapa aku begitu terganggu? Bukankah kejadian itu sudah lama sekali...”
Julia keluar setelah merasa tenang dan kembali ke mejanya. Sekilas ia melihat laki-laki  dan perempuan itu menatap kosong ke luar jendela. Ia kembali menyulut rokok baru dan membuka bukunya.
Si lelaki terdengar menghela nafas panjang, “Kalau kau mau, kau masih bisa membuatkanku puding cokelat,” katanya.
“Puding buatanku tidak pernah enak,” ujar si perempuan. “Lagi pula aku akan lebih sibuk dengan lukisan-lukisanku.”
“Ya, aku senang jika kau tetap produktif.”
“Kau juga harus meneruskan cita-citamu.”
“Aku tahu, tapi aku minta maaf,” kata si laki-laki. “Percayalah, ini bukan hanya lukamu sendiri,” tambahnya. 
Si perempuan menyenderkan tubuhnya ke kursi dan berdiam diri sebentar, “Mulailah menata masa depanmu sendiri,” ujarnya.
Kini tak ada lagi suara, Julia membalik halaman bukunya. Suara kursi di belakangnya kembali digeser, lalu perempuan itu melewatinya menuju pintu keluar. Sempat dilihatnya perempuan itu menghapus air mata dengan ujung jari. Laki-laki di belakangnya tidak mengejar. 
Julia menghisap rokoknya dalam-dalam lalu mematikannya di asbak. Setelah menghabiskan minumannya, ia membereskan buku ke dalam tas. Kini ia yakin akan beranjak dari situ dan merasa seakan-akan telah menenangkan perasaannya. Dia ingin cepat-cepat pulang dan berbaring di tempat tidurnya, dan akhirnya, hingga pagi barangkali ia akan kembali mengalami insomnia.
“Maaf, boleh pinjam koreknya lagi?” si laki-laki tiba-tiba sudah berdiri di samping mejanya.


Bandarlampung, 09 Juni 2014

1 comment:

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara