Adat-Istiadat dan
Kebebasan Manusia
(Esei berdasarkan pandangan eksistensialisme Jean Paul Sartre)
Oleh Fitri Yani
Adat-istiadat
adalah kebiasaan atau kelaziman berprilaku yang diterima sebagai patokan
bernorma dalam sekelompok masyarakat yang menempati daerah tertentu. Adat-istiadat
yang berlaku secara turun-temurun bisa menjadi hukum tidak tertulis yang
kemudian disebut hukum adat. Beberapa contoh kebiasaan yang diakui masyarakat
misalnya, menjenguk tetangga yang sakit, mengetuk pintu saat bertamu dan
mengcapkan salam, dll, sehingga kebiasaan tersebut memiliki ciri-ciri yang
membedakan individu/ kelompok yang satu dengan yang lain.
Berbicara
mengenai adat-istiadat dalam pandangan eksistensialisme Jean Paul Sartre,
terlebih dulu saya akan menjabarkan bagaimana konsep pemikirannya tentang
kebebasan dengan relevasinya dalam adat-istiadat masyarakat Indonesia. Sartre
mengatakan bahwa “Meski aku tidak menginginkan diriku lahir di dunia ini,
tetapi karena faktanya aku ada di dunia tanpa aku minta, maka hal itu tidak
membebaskan diriku dari tanggungjawab terhadap diriku sendiri.” Sartre
menegaskan bahwa kebebasan manusia serta tanggungjawabnya adalah bukan karena
suruhan agama, adat-istiadat atau norma apapun juga.
Eksistensi
manusia sebagai etre pour soi (berada bagi dirinya sendiri) bukan etre en soi
(berada dalam dirinya sendiri), menjadikan orang lain bukanlah benda yang diam
dan pasrah untuk diobjektifikasi, ia dengan bebas mengobjekkan dan memberikan
penilaian-penilaiannya pada kita. Namun kita juga dapat mengambil keputusan
untuk melawan dan mengobjekkan individu tersebut—mempertahankan diri dengan
meniadakan yang lain, akibatnya akan timbul konflik yang tak berkesudahan.
Jika
manusia sebagai individu yang bebas dihubungkan dengan latar adat-istiadat dan
keanekaragaman masyarakat Indonesia rasanya sulit sekali untuk mendapatkan
bukti bahwa kebebasan itu benar-benar ada. Misalnya saja aturan-aturan
perkawinan yang mengharuskan pihak laki-laki memberikan sejumlah uang kepada
pihak perempuan—hal ini tentu saja terkadang membebani pihak keluarga. Gelar-gelar
adat yang diemban seseorang dalam lingkungan adatnya, menjadikan ruang-regaknya
menjadi demikian terbatas. Masih kentalnya budaya partiarki yang menjadikan
perempuan semata objek bagi laki-laki—Akibatnya pada titik tertentu timbullah
konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan, perceraian, pelecehan, dan
lain sebagainya. Serta masih banyak lagi adat-istiadat yang secara
turun-temurun masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Kesemuanya itu semakin membuat kita ragu untuk
mencari di mana kita bisa menemukan bukti adanya kebebasan. Semua orang
diharuskan untuk menaati aturan adat sehingga timbullah penjara-penjara yang
membatasi ruang gerak manusia sebagai subjek yang bebas.
Tak
dapat disangkal bahwa setiap orang ingin bebas. Keinginan untuk bebas tersebut
bisa diakui sebab akal-budi yang membangun kesadaran manusia. Namun berhadapan
dengan berbagai adat-istiadat dan nilai yang dianut maka akan timbul
permasalahan, yakni setiap orang akan diatur dan dibatasi ruang geraknya. Bagi
individu-individu yang keluar dari sistem atau tata aturan tersebut maka akan
dikucilkan kelompoknya (sanksi adat). Sementara dari sudut pandang
eksistensialisme, jika ia tetap berada dalam sistem tersebut maka ia disebut
sebagai manusia yang malafide—lari dari tanggungjawabnya sebagai subjek yang
bebas.
Akhir-akhir
ini kita menyaksikan begitu banyak kasus-kasus pemerkosaan, pembunuhan,
pelecehan seksual, dan berbagai pelanggaran tata aturan masyarakat lainnya. Semakin
kacaunya sistem masyarakat menunjukkan bahwa hukum adat tidak lagi menjadi
pedoman utama yang dijadikan dasar dalam berprilaku. Individu-individu
kehilangan orientasi akan tujuan hidup karena tekanan dari berbagai
pihak—ekonomi, sosial, budaya, tekhnologi, dll. Padahal harapan dari segala
macam tata aturan tersebut adalah terciptanya hubungan yang harmonis antar
individu. Namun segala bentuk aturan adat dan norma tersebut ternyata secara
tidak sadar menjadi belenggu bagi individu sebagai manusia yang bebas, sehingga
mereka mencari berbagai cara untuk lepas dari segala macam bentuk tekanan
tersebut dengan cara-cara brutal.
Adat-istiadat
yang selama ini dijadikan pedoman bagi tata kelakuan masyarakat telah
kehilangan kekuatannya sehingga digantikan oleh hukum positif (hukum yang
berlaku di suatu masyarakat pada tempat dan waktu saat ini) dan politik yang
dikendalikan negara. Nilai-nilai kepercayaan yang bersumber dari agama
digantikan oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan yang sekuler. Lalu aturan-aturan
baru pun diciptakan agar kembali mengikat manusia sebagai individu yang bebas,
dibentuk lembaga-lembaga yang mengatasnamakan perjuangan kebebasan manusia.
Sementara di satu sisi, aturan-aturan atau lembaga itu dibuat hanya didasarkan
atas kepentingan segelintir orang sehingga tidak memiliki tujuan yang jelas. Misalnya
fatwa-fatwa MUI yang menyatakan bahwa merokok adalah haram, golput saat pemilu
adalah haram, dll. Fatwa-fatwa tersebut tidak mendefinisikan secara jelas dan
tepat mengapa merokok atau golput dianggap haram, sehingga timbullah kelompok
yang pro dan kontra.
Kemudian
di dunia pendidikan, dalam cita-cita UUD 1945 tujuan pendidikan adalah untuk
mencerdaskan bangsa, namun pada kenyataannya masih banyak rakyat Indonesia yang
buta huruf dan putus sekolah dikarenakan tuntutan biaya pendidikan yang tinggi,
pengelompokan murid-murid berdasarkan tingkat kecerdasan yang konvensional, dan
lain sebagainya. Contoh lain, masih banyak kita temui orang-orang yang
kekurangan gizi padahal negeri kita kaya akan sumber daya alam. Sebagian
masyarakat Indonesia adalah petani dan nelayan namun beras dan ikan didatangkan
dari luar negeri lalu dijual kembali kepada masyarakat dengan harga yang mahal.
Belum lagi soal pekerja atau karyawan yang tidak bisa menikmati kebebasannya
karena tuntutan jam kerja dan beban kerja yang berat, bahkan gaji yang masih di
bawah standar upah minimum regional. Juga soal pengangguran dan anak jalanan,
kenakalan remaja, dan masalah-masalah sosial lainnya.
Persoalan-persoalan
itu menunjukkan bahwa mereka tidak hidup secara bebas dan aturan-aturan yang
dibuat oleh pemerintah maupun masyarakat hanya semakin menciptakan
penjara-penjara bagi manusia sebagai subjek yang menentukan sendiri eksistensi
dirinya.
Dalam
pemikiran Sartre hubungan manusia dengan tata aturan, adat-istiadat, norma
sangat memberikan peluang bagi manusia untuk kehilangan eksistensi dirinya.
Sartre tidak mengakui keberadaan norma dan adat-istiadat yang lahir melalui
kebiasaan serta kebudayaan. Mengingat manusia terlahir sebagai mahluk yang
bebas, maka ia diharuskan untuk menyusun dan menentukan sendiri tata nilai dan
norma bagi dirinya sendiri. Keharusan tersebut merupakan kewajiban akibat
kebebasan yang dimilikinya. Sehingga bagi mereka yang lari dari tanggung jawab
tersebut maka ia berada dalam keyakinan yang buruk. Melalui kebebasannya
manusia memiki pilihan-pilihan bebas dan membuatnya berada pada proses
penciptaan terus-menerus. Dalam setiap detik dari kehidupannya ia bebas
melakukan pilihan. Dengan demikian menurut Sartre, manusia yang sadar akan
esksistensinya tidak dibelenggu oleh aturan atau adat-istiadat yang diciptakan
oleh masyarakat. Sebab masyarakat yang membentuk sekian banyak tata aturan
digambarkan Sartre sebagai kumpulan ada yang memuakkan.
Di
era modern ini, banyak pihak yang mengobjekkan individu-individu di luar kelompoknya,
mereka membuat standar kebaikan, kecantikan, keberhasilan, kecanggihan, dan
lain sebagainya—sehingga individu yang tak memiliki kapasitas mental memadai
maka akan terjerat dalam penyeragaman (one dimensional society). Keotentikan
masing-masing individu akan lenyap karena mereka harus percaya bahwa ukuran sukses
adalah memiliki mobil dan rumah mewah, memakai tas Hermes, sepatu Nike, berlibur
ke luar negeri, dll. Namun tak demikian dengan kaum eksistensialis, dengan
hadirnya standar-standar, tata aturan dan adat-istiadat itu, ia akan
mengalihkan perhatiannya dan mengubah aturan tersebut sebagai “neraka”.
Fitri Yani, pembelajar di Komunitas Berkat Yakin.
No comments:
Post a Comment