Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Tuesday, March 31, 2015

Essai


Adat-Istiadat dan Kebebasan Manusia
(Esei berdasarkan pandangan eksistensialisme Jean Paul Sartre)
Oleh Fitri Yani

Adat-istiadat adalah kebiasaan atau kelaziman berprilaku yang diterima sebagai patokan bernorma dalam sekelompok masyarakat yang menempati daerah tertentu. Adat-istiadat yang berlaku secara turun-temurun bisa menjadi hukum tidak tertulis yang kemudian disebut hukum adat. Beberapa contoh kebiasaan yang diakui masyarakat misalnya, menjenguk tetangga yang sakit, mengetuk pintu saat bertamu dan mengcapkan salam, dll, sehingga kebiasaan tersebut memiliki ciri-ciri yang membedakan individu/ kelompok yang satu dengan yang lain.

Berbicara mengenai adat-istiadat dalam pandangan eksistensialisme Jean Paul Sartre, terlebih dulu saya akan menjabarkan bagaimana konsep pemikirannya tentang kebebasan dengan relevasinya dalam adat-istiadat masyarakat Indonesia. Sartre mengatakan bahwa “Meski aku tidak menginginkan diriku lahir di dunia ini, tetapi karena faktanya aku ada di dunia tanpa aku minta, maka hal itu tidak membebaskan diriku dari tanggungjawab terhadap diriku sendiri.” Sartre menegaskan bahwa kebebasan manusia serta tanggungjawabnya adalah bukan karena suruhan agama, adat-istiadat atau norma apapun juga.

Eksistensi manusia sebagai etre pour soi (berada bagi dirinya sendiri) bukan etre en soi (berada dalam dirinya sendiri), menjadikan orang lain bukanlah benda yang diam dan pasrah untuk diobjektifikasi, ia dengan bebas mengobjekkan dan memberikan penilaian-penilaiannya pada kita. Namun kita juga dapat mengambil keputusan untuk melawan dan mengobjekkan individu tersebut—mempertahankan diri dengan meniadakan yang lain, akibatnya akan timbul konflik yang tak berkesudahan.

Jika manusia sebagai individu yang bebas dihubungkan dengan latar adat-istiadat dan keanekaragaman masyarakat Indonesia rasanya sulit sekali untuk mendapatkan bukti bahwa kebebasan itu benar-benar ada. Misalnya saja aturan-aturan perkawinan yang mengharuskan pihak laki-laki memberikan sejumlah uang kepada pihak perempuan—hal ini tentu saja terkadang membebani pihak keluarga. Gelar-gelar adat yang diemban seseorang dalam lingkungan adatnya, menjadikan ruang-regaknya menjadi demikian terbatas. Masih kentalnya budaya partiarki yang menjadikan perempuan semata objek bagi laki-laki—Akibatnya pada titik tertentu timbullah konflik rumah tangga yang berujung pada kekerasan, perceraian, pelecehan, dan lain sebagainya. Serta masih banyak lagi adat-istiadat yang secara turun-temurun masih dijalankan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia.  Kesemuanya itu semakin membuat kita ragu untuk mencari di mana kita bisa menemukan bukti adanya kebebasan. Semua orang diharuskan untuk menaati aturan adat sehingga timbullah penjara-penjara yang membatasi ruang gerak manusia sebagai subjek yang bebas.

Tak dapat disangkal bahwa setiap orang ingin bebas. Keinginan untuk bebas tersebut bisa diakui sebab akal-budi yang membangun kesadaran manusia. Namun berhadapan dengan berbagai adat-istiadat dan nilai yang dianut maka akan timbul permasalahan, yakni setiap orang akan diatur dan dibatasi ruang geraknya. Bagi individu-individu yang keluar dari sistem atau tata aturan tersebut maka akan dikucilkan kelompoknya (sanksi adat). Sementara dari sudut pandang eksistensialisme, jika ia tetap berada dalam sistem tersebut maka ia disebut sebagai manusia yang malafide—lari dari tanggungjawabnya sebagai subjek yang bebas.

Akhir-akhir ini kita menyaksikan begitu banyak kasus-kasus pemerkosaan, pembunuhan, pelecehan seksual, dan berbagai pelanggaran tata aturan masyarakat lainnya. Semakin kacaunya sistem masyarakat menunjukkan bahwa hukum adat tidak lagi menjadi pedoman utama yang dijadikan dasar dalam berprilaku. Individu-individu kehilangan orientasi akan tujuan hidup karena tekanan dari berbagai pihak—ekonomi, sosial, budaya, tekhnologi, dll. Padahal harapan dari segala macam tata aturan tersebut adalah terciptanya hubungan yang harmonis antar individu. Namun segala bentuk aturan adat dan norma tersebut ternyata secara tidak sadar menjadi belenggu bagi individu sebagai manusia yang bebas, sehingga mereka mencari berbagai cara untuk lepas dari segala macam bentuk tekanan tersebut dengan cara-cara brutal.

Adat-istiadat yang selama ini dijadikan pedoman bagi tata kelakuan masyarakat telah kehilangan kekuatannya sehingga digantikan oleh hukum positif (hukum yang berlaku di suatu masyarakat pada tempat dan waktu saat ini) dan politik yang dikendalikan negara. Nilai-nilai kepercayaan yang bersumber dari agama digantikan oleh nilai-nilai ilmu pengetahuan yang sekuler. Lalu aturan-aturan baru pun diciptakan agar kembali mengikat manusia sebagai individu yang bebas, dibentuk lembaga-lembaga yang mengatasnamakan perjuangan kebebasan manusia. Sementara di satu sisi, aturan-aturan atau lembaga itu dibuat hanya didasarkan atas kepentingan segelintir orang sehingga tidak memiliki tujuan yang jelas. Misalnya fatwa-fatwa MUI yang menyatakan bahwa merokok adalah haram, golput saat pemilu adalah haram, dll. Fatwa-fatwa tersebut tidak mendefinisikan secara jelas dan tepat mengapa merokok atau golput dianggap haram, sehingga timbullah kelompok yang pro dan kontra.

Kemudian di dunia pendidikan, dalam cita-cita UUD 1945 tujuan pendidikan adalah untuk mencerdaskan bangsa, namun pada kenyataannya masih banyak rakyat Indonesia yang buta huruf dan putus sekolah dikarenakan tuntutan biaya pendidikan yang tinggi, pengelompokan murid-murid berdasarkan tingkat kecerdasan yang konvensional, dan lain sebagainya. Contoh lain, masih banyak kita temui orang-orang yang kekurangan gizi padahal negeri kita kaya akan sumber daya alam. Sebagian masyarakat Indonesia adalah petani dan nelayan namun beras dan ikan didatangkan dari luar negeri lalu dijual kembali kepada masyarakat dengan harga yang mahal. Belum lagi soal pekerja atau karyawan yang tidak bisa menikmati kebebasannya karena tuntutan jam kerja dan beban kerja yang berat, bahkan gaji yang masih di bawah standar upah minimum regional. Juga soal pengangguran dan anak jalanan, kenakalan remaja, dan masalah-masalah sosial lainnya.

Persoalan-persoalan itu menunjukkan bahwa mereka tidak hidup secara bebas dan aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah maupun masyarakat hanya semakin menciptakan penjara-penjara bagi manusia sebagai subjek yang menentukan sendiri eksistensi dirinya.

Dalam pemikiran Sartre hubungan manusia dengan tata aturan, adat-istiadat, norma sangat memberikan peluang bagi manusia untuk kehilangan eksistensi dirinya. Sartre tidak mengakui keberadaan norma dan adat-istiadat yang lahir melalui kebiasaan serta kebudayaan. Mengingat manusia terlahir sebagai mahluk yang bebas, maka ia diharuskan untuk menyusun dan menentukan sendiri tata nilai dan norma bagi dirinya sendiri. Keharusan tersebut merupakan kewajiban akibat kebebasan yang dimilikinya. Sehingga bagi mereka yang lari dari tanggung jawab tersebut maka ia berada dalam keyakinan yang buruk. Melalui kebebasannya manusia memiki pilihan-pilihan bebas dan membuatnya berada pada proses penciptaan terus-menerus. Dalam setiap detik dari kehidupannya ia bebas melakukan pilihan. Dengan demikian menurut Sartre, manusia yang sadar akan esksistensinya tidak dibelenggu oleh aturan atau adat-istiadat yang diciptakan oleh masyarakat. Sebab masyarakat yang membentuk sekian banyak tata aturan digambarkan Sartre sebagai kumpulan ada yang memuakkan.

Di era modern ini, banyak pihak yang mengobjekkan individu-individu di luar kelompoknya, mereka membuat standar kebaikan, kecantikan, keberhasilan, kecanggihan, dan lain sebagainya—sehingga individu yang tak memiliki kapasitas mental memadai maka akan terjerat dalam penyeragaman (one dimensional society). Keotentikan masing-masing individu akan lenyap karena mereka harus percaya bahwa ukuran sukses adalah memiliki mobil dan rumah mewah, memakai tas Hermes, sepatu Nike, berlibur ke luar negeri, dll. Namun tak demikian dengan kaum eksistensialis, dengan hadirnya standar-standar, tata aturan dan adat-istiadat itu, ia akan mengalihkan perhatiannya dan mengubah aturan tersebut sebagai “neraka”.


Fitri Yani, pembelajar di Komunitas Berkat Yakin.

No comments:

Post a Comment

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara