saat pintu laut
terbuka, ikan-ikan bermunculan
berpuluh-puluh
perahu akan berlayar dari selatan
dan darah
seluruh keluargamu akan tumpah
dan sepasang
badan akan menolak muara terbelah
seekor elang
laut berputar mematuk-matuk layar
tapi ia menjadi
buta dan paruhnya terluka
dendammu pecah
di gelanggang biru
dendang pedih
tentang perang berdengung
ke seluruh
pelosok negeri
sayatannnya
menubi hingga ke tujuh lapis kalbumu
kau berlari
bagai kuda perang menunggang gelombang
tapi mata pedang
lawan terlanjur tiba di jantungmu
sebelum kau
hentikan kapal berlayar ke arah selatan
sebelum kau
saksikan butiran garam dari mata kekasihmu
jatuh di lautan
sehelai
selendang merah tersangkut di ranting mawar
berkibar-kibar
seolah ingin melayang menujumu.
Oktober, 2013
Pangeran Riya
aku
kehilangan peta seorang diri di tengah samudera
bintang
mana yang akan kutatap semalaman, Puan
langit
itu tersibak, malam benderang
wajahmu
tergambar seperti purnama
menggetarkan
mata ribuan nakhoda
yang
berlayar di laut Sumatera Selatan
membawa
rupa-rupa sesembahan
dan
tujuh puluh helai kain bergambar kijang kencana
seakan
pertemuan akan tunai saat terlontar ribuan puja
dari
bibir para prajurit dan hulubalang
seakan
sunyi akan mati bila tiba saatnya
kujemput
engkau di kemudian hari
Puan,
kini aku sasar dalam kerumun penduduk kampung
pintu
rumah siapa harus kuketuk, madu dari cawan mana
mesti
kureguk.
Oktober
2013
Orang-orang Modern
sahabatku,
dari tengah kota ini
akan
kuceritakan tentang orang-orang
yang
dulu merubuhkan rumah-rumah panggung
lalu
membangun gedung-gedung bertingat
di
atasnya
retakan
dinding-dinding bekas gempa
beranda-beranda
yang rapuh
dan
aroma kopi di jalan masa lalu
telah
terbenam di lubuk ingatan
aku
menyaksikan
orang-orang
bertaruh di meja judi
menumpahkan
seluruh isi dada
memaki-maki
pelayan
yang lambat menuangkan
minuman beralkohol
ke
dalam gelas-gelas kesepian
mereka
beradu nasib baik
menertawakan
nasib buruk
listrik
kadang padam seketika
lalu
semua terhenti
orang-orang
menjadi cemas
mengintip
bulan dari kaca jendela yang pecah
cahayanya
seperti maut yang mengintai
aroma
masakan dari warung-warung di pinggir jalan
membangkitkan
hasrat akan pedas sambal terasi
sementara
di rumah-rumah, dapur menjelma
penyimpan
perabot makan
ada
akasia yang tumbang di pinggir jalan
bunga
dan daunnya berserakan seperti tanah baru
tapi
para pemulung bergegas menyapunya
sebelum
pagi seluruhnya datang
sahabatku,
entah apa yang sesungguhnya telah hilang
seakan
ada perselisihan yang tak kunjung tunai
seakan
ada air kebahagiaan yang terus ditenggak
dari
gelas-gelas retak.
Oktober, 2013
terimakasih sudah membaca :)
ReplyDeleteKeep writing
ReplyDeleteEmz....
ReplyDeletepuisi nya keren , semangat berkarya
ReplyDeletebagus puisinya terus berkarya
ReplyDelete