12 Februari 2014
Proposisi: Aku terkejut, bulan purnama kulihat keluar
dari ubun-ubun Lurah Gemblung.
1.
Who is Lurah
Gemblung
2.
Why bulan
purnama keluar dari ubun-ubun
3.
Proses
keterkejutan
Who
Aku terkejut, bulan purnama kulihat keluar
dari ubun-ubun Lurah Gemblung. Sudah hampir empat puluh hari ia menjalani puasa
mutih dan setiap malam duduk bersemedi di depan kuburan kakeknya. Laki-laki
bertato laba-laba yang gemar menghisap cerutu itu ingin mendapatkan ilmu
menghilang dari bumi—yaitu ilmu yang dulu pernah dimiliki kakeknya, tetua
Kampung Naga yang berhasil mendirikan padepokan Ilang Wujud—dan dengan memiliki
ilmu itu, lelaki bealis tebal itu percaya bisa menjelajah ke masa lalu
sekaligus masa depan. Bibirnya yang hitam karena tembakau kulihat komat-kamit
merapal mantra, sementara aku, salah satu muridnya yang ingin belajar tenaga
dalam, terpaksa sambil terkantuk-kantuk memegangi kendi berisi air bunga, duduk
di bawah pohon kamboja, menunggu ia mengeluarkan suara “hhhrrrr” yang terdengar seperti orang tua sedang
mendengkur. Jika suara itu keluar, barulah aku tergopoh-gopoh menghampiri,
membungkuk di sampingnya sambil menyodorkan kendi berisi air bunga tadi. Tapi
malam ini, sudah empat jam aku menunggu, suara “hhrrr” itu tak kunjung keluar.
Sementara nyamuk kulihat kian leluasa menjajahi lengan dan kaki lelaki berusia
lima puluh tahun, yang baru saja mendapat gundik baru itu. Tepat pukul dua
belas malam, bersamaan dengan lolongan anjing yang bersahut-sahutan, bulan
purnama yang cahayanya kuning keemasan kulihat keluar dari ubun-ubunnya. Wajah
Lurah Gemblung pun bercahaya, cahayanya menerangi seluruh kuburan.
Mengurai bulan
Aku terkejut, bulan purnama kulihat keluar
dari ubun-ubun Lurah Gemblung. Mula-mula cahayanya seperti telur dadar mata
sapi yang tak sempurna, lama-kelamaan cahaya itu kian merah dan besar, jaraknya
sekitar dua senti dari rambut kritingnya. Tubuh Lurah Gemblung malam itu turut
mengeluarkan cahaya dan menerangi seluruh ruangan berukuran tiga kali tiga
sentimeter itu. di depannya, aku berdiri seperti sepotong kayu mati yang
terpancang sendiri di tengah ladang, zikir yang tadi begitu lancar kuucapkan
kini seakan tertahan di kerongkongan. Pikiranku ingin agar aku memegang bahu
guruku itu, tapi tanganku pun kaku, sementara dari genggamanku ujung tasbih menjuntai
bergerak ke kanan dan ke kiri. Purnama itu tidak menyilaukan, bahkan hangat dan
lembut. Di mata Lurah Gemblung seperti
kulihat air bening yang mengembun di dinding gela lalu, berkali-kali kulafaskan
Innalillahiwainnailaihi Rajiun dan menginsyafi, betapa guruku itu benar-benar
telah sampai pada kesadaran tertinggi dan kembali pada Sang Cahaya.
Proses keterkejutan
Aku terkejut, bulan purnama kulihat keluar
dari ubun-ubun Lurah Gemblung. Kakiku gemetar melihat bola raksasa merah yang
cahayanya membuat mataku panas. Aku ingin berlari dan meninggalkan kendi berisi
air bunga yang diminta Lurah Gemblung kujaga hingga aku melihat purnama dari kepalanya.
Awalnya aku tak percaya, mana mungkin bulan bisa pindah tempat, pikirku. Maka
kuikuti saja maunya, lagi pula sebagai muridnya yang masih magang, apa pun
perkataannya harus kuturuti agar nilaiku baik. Untuk beberapa saat aku tak bisa
merasakan kedua kakiku menapak di tanah, kendi berisi air bunga terlepas dari
tanganku, pecah dan airnya membasahi kakiku, yang juga telah basah oleh aliran
hangat dari selangkanganku. Purnama itu melayang di atas ubun-ubunnya, jaraknya
kira-kira dua senti dari rambut keriting Lurah Gemblung. Mulutku ingin menjerit
namun tak bisa dan hanya ternganga seperti mulut goa. Sungguh aku berharap agar
apa yang sedang kualami saat itu hanyalah mimpi. Namun detak jam di pergelangan
tanganku, purnama di ubun-ubun Lurah Gemblung, dan suara komat-kamit dari mulut
guru spiritualku itu, membuat konsep ruang dan waktu di dalam pikiranku menjadi
kacau.
No comments:
Post a Comment