Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Tuesday, March 31, 2015

Pelajaran Pertama; Mengurai Paragraf; Kelas Menulis Komunitas Berkat Yakin



12 Februari 2014

Proposisi: Aku terkejut, bulan purnama kulihat keluar dari ubun-ubun Lurah Gemblung. 

1.       Who is Lurah Gemblung
2.       Why bulan purnama keluar dari ubun-ubun
3.       Proses keterkejutan

Who

Aku terkejut, bulan purnama kulihat keluar dari ubun-ubun Lurah Gemblung. Sudah hampir empat puluh hari ia menjalani puasa mutih dan setiap malam duduk bersemedi di depan kuburan kakeknya. Laki-laki bertato laba-laba yang gemar menghisap cerutu itu ingin mendapatkan ilmu menghilang dari bumi—yaitu ilmu yang dulu pernah dimiliki kakeknya, tetua Kampung Naga yang berhasil mendirikan padepokan Ilang Wujud—dan dengan memiliki ilmu itu, lelaki bealis tebal itu percaya bisa menjelajah ke masa lalu sekaligus masa depan. Bibirnya yang hitam karena tembakau kulihat komat-kamit merapal mantra, sementara aku, salah satu muridnya yang ingin belajar tenaga dalam, terpaksa sambil terkantuk-kantuk memegangi kendi berisi air bunga, duduk di bawah pohon kamboja, menunggu ia mengeluarkan suara “hhhrrrr” yang  terdengar seperti orang tua sedang mendengkur. Jika suara itu keluar, barulah aku tergopoh-gopoh menghampiri, membungkuk di sampingnya sambil menyodorkan kendi berisi air bunga tadi. Tapi malam ini, sudah empat jam aku menunggu, suara “hhrrr” itu tak kunjung keluar. Sementara nyamuk kulihat kian leluasa menjajahi lengan dan kaki lelaki berusia lima puluh tahun, yang baru saja mendapat gundik baru itu. Tepat pukul dua belas malam, bersamaan dengan lolongan anjing yang bersahut-sahutan, bulan purnama yang cahayanya kuning keemasan kulihat keluar dari ubun-ubunnya. Wajah Lurah Gemblung pun bercahaya, cahayanya menerangi seluruh kuburan.

Mengurai bulan

Aku terkejut, bulan purnama kulihat keluar dari ubun-ubun Lurah Gemblung. Mula-mula cahayanya seperti telur dadar mata sapi yang tak sempurna, lama-kelamaan cahaya itu kian merah dan besar, jaraknya sekitar dua senti dari rambut kritingnya. Tubuh Lurah Gemblung malam itu turut mengeluarkan cahaya dan menerangi seluruh ruangan berukuran tiga kali tiga sentimeter itu. di depannya, aku berdiri seperti sepotong kayu mati yang terpancang sendiri di tengah ladang, zikir yang tadi begitu lancar kuucapkan kini seakan tertahan di kerongkongan. Pikiranku ingin agar aku memegang bahu guruku itu, tapi tanganku pun kaku, sementara dari genggamanku ujung tasbih menjuntai bergerak ke kanan dan ke kiri. Purnama itu tidak menyilaukan, bahkan hangat dan lembut.  Di mata Lurah Gemblung seperti kulihat air bening yang mengembun di dinding gela lalu, berkali-kali kulafaskan Innalillahiwainnailaihi Rajiun dan menginsyafi, betapa guruku itu benar-benar telah sampai pada kesadaran tertinggi dan kembali pada Sang Cahaya.

 Proses keterkejutan

Aku terkejut, bulan purnama kulihat keluar dari ubun-ubun Lurah Gemblung. Kakiku gemetar melihat bola raksasa merah yang cahayanya membuat mataku panas. Aku ingin berlari dan meninggalkan kendi berisi air bunga yang diminta Lurah Gemblung kujaga hingga aku melihat purnama dari kepalanya. Awalnya aku tak percaya, mana mungkin bulan bisa pindah tempat, pikirku. Maka kuikuti saja maunya, lagi pula sebagai muridnya yang masih magang, apa pun perkataannya harus kuturuti agar nilaiku baik. Untuk beberapa saat aku tak bisa merasakan kedua kakiku menapak di tanah, kendi berisi air bunga terlepas dari tanganku, pecah dan airnya membasahi kakiku, yang juga telah basah oleh aliran hangat dari selangkanganku. Purnama itu melayang di atas ubun-ubunnya, jaraknya kira-kira dua senti dari rambut keriting Lurah Gemblung. Mulutku ingin menjerit namun tak bisa dan hanya ternganga seperti mulut goa. Sungguh aku berharap agar apa yang sedang kualami saat itu hanyalah mimpi. Namun detak jam di pergelangan tanganku, purnama di ubun-ubun Lurah Gemblung, dan suara komat-kamit dari mulut guru spiritualku itu, membuat konsep ruang dan waktu di dalam pikiranku menjadi kacau.

No comments:

Post a Comment

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara