Bunga-bunga bermekaran, pohon-pohon tumbuh semakin tinggi. mengapa tak biarkan ia di tempatnya: hingga ia terus tumbuh; menyentuh langit.
Wednesday, January 30, 2013
Sajak Fitri Yani di Koran Kompas, 27 Januari 2013
Malam di Jalan Ali Pitchay
keramaian yang menarikku dalam alam bahasa yang sukar kuterka ketika kudatangi kotamu, akan menjadi satu-satunya ingatan yang membuat dunia, bagiku, menjadi lebih luas dari yang kuketahui. sudut-sudut kota yang lengang itu akan memulangkan ingatanku di suatu malam yang lampu-lampunya berwarna biru. juga percakapan tentang masa lalu usai makan malam di sebuah restoran melayu, yang kemudian membuat kita sama-sama menyimpan rasa haru seakan malam panjang tak akan pernah membuat kita kembali bertemu
lantas kurekam semua lekuk jalan dan kita beranjak meninggalkan sisa-sisa makanan yang membuat perasaan kita kembali menjadi lengkap satu sama lain. bukit-bukit kapur diterangi cahaya ungu, jalan-jalan hidup dan ramai dikunjungi tamu, cerita-cerita saudagar cina dan india tentang negeri perak tersusun di dinding rumah-rumah batu. di kejauhan, cameroun highland menghembuskan aroma daun teh sepanjang high way utara dan selatan. aku terkesima, kubayangkan getar pertemuan seperti sebuah kebetulan yang kadang-kadang membuat kita menangis haru di atas tangan-tangan takdir
hingga akhirnya kita akan dipisahkan oleh jalan-jalan dan harapan-harapan yang membuat kita saling mengingat atau barangkali perlahan melupakan. maka apa yang tengah kukatakan melalui sajak ini, barangkali hanya akan menjadi gema di antara ruang yang terbentang begitu panjang, yang membuatmu sejenak terdiam sebelum akhirnya rindu menjadi patut diucapkan.
Ipoh-Perak-Malaysia, 17 Desember 2012
Sebuah Pengakuan
benar, bahwa aku yang lebih dulu menggodamu di bawah pohon itu. sebab kau musafir kelaparan yang hampir mati berperang melawan cuaca. dadamu berlubang, aku bisa melihat lorong gelap sepanjang perjalananmu. aku tak tahu, mengapa persimpangan ini diciptakan sehingga kita berjumpa dan semuanya bermula, mengapa aku merayumu berhenti dan berteduh di bawah pohon rindang. mengapa kau tergoda sehingga tumbuhlah kata-kata yang menjalar di mata, telinga dan bibirmu. kau sendiri tahu, seberapa jauh jalan yang telah kau tempuh dan kau memerlukan sesosok tubuh, untuk sekedar mengusap bulir peluh di keningmu, bahkan lebih dari itu. aku tertegun heran karena setelah itu kau selalu kembali mencari-cari tubuh yang pernah memelukmu begitu erat dan matamu menjadi kian sekarat.
2012
Penggali Sumur
ia menggali sumur, katanya ia ingin meminum air murni itu. aku senang sekaligus berduka. karena musim sedang kemarau. ia percaya bahwa sumur di mata tak lebih dalam dari tanah yang tengah ia gali. maka ia terus menggali. hingga tubuhnya hilang di dalam gelap, hingga suaranya hanya berupa gema. berminggu-minggu. aku berprasangka baik—seorang penggali tak akan mati di dalam lubang yang ia gali dan kedalaman mesti melahirkan gaungnya sendiri. aku menantinya di pinggir sumur yang hampir menyerupai jurang. tapi gema suaranya tak terdengar lagi, hanya gemericik yang menyerupai suara air.
2012
BIODATA PENULIS
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Puisi-puisinya tersiar di berbagai media cetak dan antologi. Diundang pada Pertemuan Penyair Nusantara V dan VI, Ubud Writers and Readers Festival (2011), Temu Sastrawan Indonesia IV (2011), dan Festival Puisi dan Lagu Rakyat Antar Bangsa Pangkor, Malaysia (2012). Buku kumpulan puisinya “Dermaga Tak Bernama”.
Labels:
Poetry
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment