Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Wednesday, January 30, 2013

Sajak Fitri Yani di Jurnal Nasional, 06 Januari 2013


Another Reason

kita berjumpa di persimpangan yang telah letih, sebuah jalan yang berakhir di tepian malam. aku tak tahu haruskah berbahagia atau berduka saat kau genggam tanganku malam itu, di sebuah beranda, di bawah purnama. malam di depan kita menjelma layar kaca, dan kita seperti berada di dalam labirin, yang tak lagi kita ketahui di mana awal-akhirnya.

seakan perayaan—setiap malam dan siang yang datang menghanyutkan kita ke dalam mimpi-mimpi tanpa tepi. sungai, taman, dan cita-cita  memadat di telapak tangan. sementara tiga putaran kemarau, menghendaki rasa pasti bergema di dinding jantungku.

bukan cuma waktu yang kita lewati, tapi juga laut luas dan dinding batu di hati kita—ketahuilah, aku memperbaiki harapan demi harapan yang kau kehendaki, agar perjalanan menjadi genap dan memesona. tapi kau kerap mengelak dan mengulur perasaan sendiri. sampai di suatu ketika, kau dan aku pun merasa letih, matahari membakar pohon-pohon, hujan sore hari  tertahan menutupi kehampaan. lalu kita mencoba bangkit kembali, berjalan lagi, menuruni lembah-lembah, mendaki bukit-bukit. ah, seharusnya kita tak berjalan dengan kerumitan di kepala masing-masing, seharusnya kita melangkah saja.

di sudut lain, banyak sekali tangan yang mencoba menarikmu dariku, cengkramannya bagai belitan akar yang meremukkan harapan. aku tak tahu, apakah aku harus berbahagia atau berduka saat kutatap matamu yang berwarna madu, ada sungai harapan yang mengalir diam-diam, juga pepohonan yang mulai tumbang di setiap pinggirnya, “kau belum memulai apa-apa, kau tak akan mengakhiri apa-apa” kataku. aku melihat kelepak elang, langit begitu biru.

keheningan jadi begitu sempurna saat kau meninggalkanku. rintik-rintik hujan jatuh mengaburkan seluruh pandangan.

hari seakan mengambang, daun-daun gugur, hutan terbakar, dan burung-burung terbang tanpa arah. kita hanya sepasang mahluk yang penuh dengan harapan, sekujur tubuh kita penuh warna, yang siapa pun tak akan sanggup menafsirnya—kau meletakkan rumahmu di dadaku, sementara aku melukis cakrawala di wajahmu.

jika saat itu kau menatap langsung ke mata yang dalam dan kecewa—kau akan tahu, aku bukan datang dari ujung sebuah jalan yang lengang, tapi dari segumpal hening fajar yang berdiam di ulu hatimu. barangkali saat itu kau begitu ingin memeluk tubuhku yang terlanjur membeku, barangkali kau ingin sekali menjelaskan makna sebuah taman, barangkali juga saat itu aku merasa kau telah menghianati cintaku, tapi aku tak ingin mengetahuinya. sebab betapa musim telah begitu rapi merawat benih-benih asmara.

di sebuah jalan, di antara bukit berpasir, ada sebait sajak cengeng tentang cinta.

kau mungkin masih akan memukauku dengan bait-bait sajakmu, agar kau tak kulupakan, agar suaramu menjadi bahana di dadaku. tapi saat ini, tak ada lagi yang menarik di mataku. kehidupan seperti pergerakan benda-benda mati, tubuh-tubuh berjalan tanpa tujuan, namun dadanya penuh kerinduan.

aku memandang hari-hari yang lewat dengan mata yang berat, duka dan bahagia berlintasan bagaikan gelombang lagu yang tak putus-putus. aku pun mencoba berprasangka baik tentangmu—bukankah tak ada jalan yang benar-benar selesai. kutempatkan diriku di sebuah taman, karena taman adalah kehidupan, penuh semerbak dan warna bunga-bunga.

patah hatiku karena tak akan lagi pernah melihat keteduhan matamu, kalaupun kau menatapku lagi, cerlangnya telah pudar. duhai, mengapa begini perih lukanya asmara—apakah takkan lunas setiap kelahiran untuk menebus duka yang ada.

saat ini aku ingin mengenang ketika kau panggil namaku berulang-ulang di ujung cakrawala, ketika aku merasa tunai sembunyi di balik dadamu.

semoga setelah ombak menggemakan nostalgia, ia reda secepat datangnya.

(Tanjungkarang, Juli 2012)


Bulan Putih

tak pernah aku mencintaimu sedalam itu, kasihku
seperti saat kau meninggalkanku begitu saja
malam pun menelanku, malam yang gelap
dan purnama tak ada

tak sedikit pun aku bahagia, kasihku, tak sedikitpun
keramaian kota dan nyanyian bahagia anak-anak muda
berangsur hilang dalam kesendirianku

aku meyakini, perjalanan tak pernah berakhir
meski kau memilih jalan yang berbeda
akan ada persimpangan yang mempertemukan kita
sesuatu yang berakhir, akan bermula pula di tempat lain

semua hal yang indah dan tak indah malam itu
membeku dalam sebuah waktu, kasihku
waktu yang selamanya akan mendekam di dadaku

(Juni, 2012)



Benang Merah 

bulan berwarna merah, terpantul di wajah kolam

malam ini ia memikirkanmu;
di dalam pikirannya kau duduk di pelataran
menikmati segelas teh dan sore yang remang
sambil memikirkan pertemuan dua hari lalu
dengan seorang perempuan
di perbatasan jalan
ketika tengah berpikir tentang rencana berlibur
kau dan dia berpapasan
lalu perempuan itu berdiri menatapmu
sambil memikirkan kekasihnya di tanah seberang
yang bimbang memikirkan jalan pulang
jalan yang sesungguhnya begitu-begitu saja
dilalui dan ditinggalkan
kalian berkenalan dan berbincang di sebuah taman
menerka-nerka pikiran dan kemungkinan di masa depan
perempuan itu mulai berpikir tentang matamu
yang dihuni musim semi
sementara kau memikirkanku
yang sore itu menunggumu dengan setumpuk rindu

benarkah kita berada dalam kemungkinan-kemungkinan lain
pada setiap peristiwa yang saling berjalinan

bulan berwarna merah, di tengahnya siluet ranting patah.

(Juni, 2012)




 sumber: koran jurnal nasional, http://www.jurnas.com/halaman/27/2013-01-06/230898

No comments:

Post a Comment

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara