“Tulisan sastra-filsafat tidak perlu dipertanggungjawabkan!” Pendapat itu terlontar dari seorang pendidik di sebuah universitas daerahku, lulusan S3. Guru sewaktu aku dibangku sekolah menengah pertama. Insan cerdas yang mengagungkan profesi, sebab di atas rata-rata penduduk tempat tinggalnya. Tapi mahasiswanya tak banyak baca, aku kerap duduk-duduk bersantai di toko buku dekat kampusnya, hanya satu-dua datang melihat. Padahal buku di sana tersedia lumayan pun murah. Masyarakat belum suka baca, meski sudah bisa membaca, lantas buat apa sejak kecil sekolah sampai perguruan tinggi?
Aku rasa pecandu buku lebih melek, meski selembar kertas tercecer di jalanan. Ini keras kepalaku, meninjau balik tak puas mata pelajaran, apalagi dipaksa duduk di bangku kaku. Di sini menantang segugus gagasan pada orang-orang merasa new criticism, tentu lebih baik dari kwalitasku. Demikian menuntut diri memproduksi kebodohan, sebab hidup penangguhan. Bukan nganggur puas gajian, apalagi mentereng berwajah profan.
Perjalanan nalar ini berangkat dibodoh-bodohkan sejak kecil sampai kini. Hal yang ku syukuri namun tidak asyik, kala yang begitu tak berbuat lebih. Harapanku jujur terima titik kebertemuan, sadar miliki peran masing-masing. Sebaiknya bekerja tak usah menggerutu, sedang dirinya sendiri tak mampu. Andai menjelma pendendam, dendamlah manis berolah sayang. Seperti disentil berkali-kali teringat kalimah itu. Lewat ini aku sentil balik orang-orang serupa, sejauh kata-kataku jatuh. Dalam pengajaran, insan sombong sunah disombongin, tapi bukan lantas merendahkan. Sebab itu tak memungkinkan mencapai lapisan langit terbaik. Eksordium ini menegur, sedikit kasar sebab mereka norak terhadapku.
Tentang tanggung jawab, aku ambil sebaris ujaran Derrida dalam Specters Of Marx, Dedikasi: “…tanggung jawab tidak terbatas, tidak membolehkan nurani yang bersih menutup mata.”
Pun keseluruhan dunia penuh tanggung jawab, meski lahirnya acak oleh pantulan sebab. Ialah memikul akibat dari yang diperbuat. Walau pengecutnya seorang tetap bertanggung atas dirinya. Pencuri bertanggung jawab utilannya dengan hati was-was memenuhi kebutuhan anaknya. Seorang pintar oleh kelihaiannya, bukan memberi kebenaran tunggal. Kita tahu hakim itu anak turun kekejaman yang dimanusiawikan. Tahap ini harus mendaki, agar tak terjadi kemandekan nilai. Ketakpuasan itu bara jiwa; aku bertanya dan pada diri telah lebih. Bahkan jawaban itu jarak permenungan terhadap nilai yang tersebar. Akan kerap menampar angin, jika yang terkenai selalu menggelinding bukan pengulangan tanpa makna, tapi penggalian alam data menjadi logika rasa.
Olehnya, sastra memiliki tanggung jawab lebih daripada ilmu logika semata, struktur kaku prakmatis buta, tarian patah menyakitkan mata, jauh di bawah lincah sastrawi. Wajib dipertanggungjawabkan sebelum berimbas kefatalan. Kita sadar bahasa dapat menggerakkan jiwa, mengomando perasaan suntuk atas pengendalian penulisnya. Perubahan sosial tak lebih praktek dari kalimah memukau, propaganda mencengangkan nalar, apalagi skat perubahan bathin kini berlesatan. Revolusi memberi tanda keberhasilan dari gerak bahasa menyedot simpati. Sedang logika rasa berperan penting di tengah istirah, maka tampaklah penilaian debur ombak objektifitas seseorang, seperti kaos lebih luwes dibanding baju kemeja. Anak-anak jalanan berpapasan orang-orang berdasi, kerap membaca. Jangan kira pejalan tidak punya penilaian jasa. Yang tertindas selalu membuka kemungkinan datangnya Ratu Adil dalam diri.
***
***
Berfikir merupakan aktifitas pohon nalar, mencari data bertebarang dibentuk dalam susunan, diwujudkan kesatuan pengertain. Ini berkembang sejauh daya penalaran, di samping sejarah pertumbuhan. Pengetahuan ialah buah akal di jalan pengalaman terdukung imajinasi. Gerak berfikir tanpa bantuannya, hanya menghasilkan sistematis kering. Imajinasi inilah abstrasi percepatan fikir menjangkau, ditempatkan di kursi berukuran nilai. Pengambilan ini disebutlah kerjanya ilmu pengetahuan.
Yang kusampaikan wewarna suatu masa bisa berubah tiupan angin, tapi setidaknya punya kesadaran pertama sebelum jauh, sadar yang diperbincangkan kini. Ialah terbangun olahan pengalaman di kursi sendiri; kesadaran berada dapat mengambil sekiranya perlu, dan tidak kesampingkan pola yang menambah kehendak mengembang. Ini kapasitas tersadar luapan, kesengajaan menggesek sudut-sudut dimaknai, bisa tidak dipercaya. Yang jelas kesamaan-perbedaan terbentuk bukan tanpa alasan, semua berangkat dari landasan masing-masing. Menggali potensi bernalar merasai, sejauh nafas imaji mendorong ke puncak pengetahuan. Hakikat ini apakah benar atau lewat? Boleh jadi yang tertulis bukan apa-apa, namun bukankah tersebut sering tak tersentuh. Sebab itu aku berharap saudara menyuntuki, yang dibilang biasa sampai memantulkan nilai tambah.
Mari mengarungi gelombang perubahan hayat. Kita sentuh dapati butiran laut pengetahuan, lama-lama airnya kering menggaram di kulit. Aku sekadar kembangkan keliaran berfikir demi sejauh mana terjatuh dari ketinggian dakian, atau termasuk tak punya kerjaan. Menancapkan kayu-kayu di pekarangan yang telah ada pagarnya seperti orang gila. Atau menghiasi pagar bercat warna-warni agar menarik dipandang tanpa kerutkan dahi, atau terlampau tidak bisa dimengerti. Bahasa tergunakan pun sebatas kemampuan memasalahi keberadaan diri atas nuanse yang ada bagi kehadiran pembaca. Yang terlakukan sebatas dan semua orang bisa jikalau meluangkan masa. Aku perturutkan kebodohan hingga hadir meski acak, bukan itu diharapkan. Orang-orang menarik pengalaman bagi paham menyerupai latihan, demi tidak gugup di ruang asing nalar gemilang.
Saat ketengahkan serasa berhadapan hantu-hantu logika, malaikat metafisis merindingkan bulu-bulu, mengeluarkan keringat dingin dari pori-pori ketakutan. Padahal yang hendak disampaikan meluapkan gagasan kemandirian sebagai insan berdampingan badan lain. Aku tak menyoal saat hasil dikonceki sampai kepemilikan bukan murni, tapi dari rangsangan. Diri ini mencoba merumuskan namun gagal di tengah jalan. Mungkin sang cerdas ketahui juga berangkat dari hal terusahakan kini, hanya lebih encer dari kepalaku yang bebal. Maka izinkan pertentangkan nalar demi temukan anatomi kesadaran, sampai ketahui kepemilikan pribadi.
***
***
Pendekatan sekadarnya awalan ini. Memasukkan bahan secukupnya untuk diolah di lambung penalaran dengan kesederhanaan, harapannya tidak melambung ke langit tak terjangkau atau terlalu menghujam ke perut bumi mustahil digali. Lewat semak-semak di sekitar bunga dilewati orang berlalulalang mengikuti perubahan. Aku cukupkan pengamatan sesederhana mungkin, agar bisa dinikmati bersama.
Ini dorongan kebutuhan tak harus dikeruk dalam demi kesiapan belum tertandai, tapi dengan penerimaan tak sampai mata berkunang. Kita mulai temukan jalan kehati-hatian, mengunyah bahan terperoleh tandingan, jika kiranya dasar terambil menyerupai diperlukan. Olehnya buah ide kurang tepat jika didialogkan sepintas keinginan yang mencerminkan apologi sepihak, meski dengan argumentasi kuat. Tulisan ini bukan mengamini kebenaran yang datangnya cepat, namun setujui akhir setelah jarak menyimak. Kepastian sesudah menyuntuki, jalanan terlewati memiliki nafas sendiri.
Sebuah ide bukan temuan murni meski terlahir dari ketiadaan hampa. Nyatanya segala berangkat dari ruang-waktu tertentu, pula miliki nilai tersendiri di hadapan pelaku. Bukan berarti aku hampiri berdada terbuka, sebab betapa pun saudara tidak mau membaca, jika yang kutawarkan bugil adanya. Ada usaha dilakukan pembaca, menyimak teks jadi bagian dirinya, kalau menghadap putusan jitu. Perkiraan belum tentu benar, meski mutlak telah ditunjukkan data empiris. Olehnya juga temukan getaran kalimah yang sanggup menyatukan energi kedalaman, melahirkan gagasan yang tidak diperkirakan sebelumnya, inilah logika rasa tengah mengejawantah.
Di sini tak hidangkan kalimah juntrung, pula keluar ke suatu kegilaan mabuk pengucapkan tanya. Kita tahu kuatnya kontrol tetap telah diatur, ini berdekatan manipulasi data. Olehnya sebagai pembaca wajib curiga pada teks ketuk palu agar tak terjerembab. Sebab bukan satu-satunya kebenaran, bisa saja kita benar pun paham lain benar dalam satu kasus, meski penyelesainnya bertolak. Tidakkah jika mengambil secukupnya mangfaat, akan hasilkan situasi menyehatkan. Kadang paksaan menghadirkan lebih, juga tidak memungkiri bertolak. Seobyektif apapun argumentasi ialah pantulan subyektifitas, maka kurang tepat berguru pada beberapa mengamatan sambil mengindahkan tempat lain, meski kurang suka. Kita bisa bayangkan betapa luas obyektifitas temuan, masih terjerat langkah sendiri. Tapi bukan berarti kecelakaan atau mencederai, tentu dapat meraba proses pengambilan secukupnya, agar yang terpampang ditarik tidak kelewat batas.
Yang dipergunakan ini untuk meringkas pandangan dalam alat. Bukan berhamburan pada ruang mendapati halusinasi. Ini tidak kita butuhkan, agar percepatan yang ada dalam kurun waktu tepat, andai kelambatan tetap dapat dipetik pelahan. Beginilah aku mengamati sebuah obyek, saudara bisa meneruskan yang tampil menjadi obyek tersendiri sebagai kerahasiaan. Mengerti kedudukan, tanpa aku sungkan menyuruh duduk atau berdiri, sebab saudaralah terbaik. Kemungkinan jelas, tanggung jawab nalar perasaan milik sendiri di hadapan memahami.
Dapat dikata ini mengembangkan kesadaran budaya, diri dan peranan. Itulah bukit kesadaran menuangkan fikiran perasaan. Pengolahan keduanya demi kembarakan diri bersama kekinian mencapai realitas masa depan. Tentu terima cemooh, sebab apalah dariku yang baru menginjak usia tiga puluh tahun, barusan menapaki jalan penulisan. Kiranya tak menutup dibenahi, agar berpengalaman menghidangkan di suatu perjamuan.
Aku rasa inilah suara pedesaan di sebuah negara carut marut membenahi pribadi bangsanya, tertatih gagap mengolah perubahan, namun jika singsingkan lengan lebih baik, meski banyak terjadi pengeroposan. Kita tentu memiliki mimpi menata batu tak lagi sandungan, tapi bahan bangunan yang suatu saat ada orang ambil manfaat, mendiami karena dijadikan pemukiman teridam. Akulah yang bodoh menyungguhi kesadaran, dari itulah izinkan mengaca di cermin sekalian, agar peroleh bentuk kesejatian anatomi diri, di jarak publik dalam kamar pembaca.
Meski pembongkarang belum berkesimpulan kuat, aku percaya kegoyahan menyunggi beban, kalau dilatih semakin kokoh otot-otot tidak lagi dinamakan beban, tapi mengasyikan daripada menganggur tanpa pegangan. Kita sadar nilai lahir dari kesucian. Kala bertambah dewasa, banyak jemari ingin memanfaatkan untuk menjajah sesama. Nilai rasa malu, hormat, kasih sayang, kebajikan, lama-lama tergerogoti sendiri sebab terlampau bisa dikuasai hasrat terpendam, karena telah akrab jenis dendam yang kan dilahirkan. Atau yang lahir di rahim kebajikan tapi tiada kedinamisan, mencemaskan virus pengendapan tidak sehat. Sebab itu, kita kembali temukan carut-marut mengenyam perubahan dan bisa kuasai lewat elastisitas, mendapati senyum tulus tiada cemburu buta, melaksanakan nilai-nilai dalam kemajuan berbangsa.
***
***
Syukur atas anugerah usia, kenikmatan cahaya serentetan sejarah, bunga rampai peradaban unggul, buah-buah nikmat para insan utama, harum kopi pengantar para ilmuwan, kepulan cerutu penambah pacuan, senyum kasih memantapkan tujuan, sensasi keceriahan mencerahkan perbaikan. Kesempatan diberikan terus belajar di tumpukan ruang-waktu kesehatan yang mengintriki jiwa keimanan.
Maaf atas kekurangan jejaring pemikiran kalbu, masih terusik hawa lintasan. Tapi semoga yang terusahakan bermanfaat, walau mentah di usia pendakian. Olehnya berharap saran, agar bertambah baik terjelaskan posisi gagasan, atas tegur sapa temukan lebih mendekati purna. Ini jangan-jangan semiologi gerak keadaban mendatang. Berangkatnya dari gelisah tapi bukan lepas kajian. Lalu tumbuh kesadaran diri bersama pengertian, yang penarikannya jauh terkembang.
Terimakasih uluran waktu pembaca, hingga mempuni menggetarkan cakrawala menambah kemudahan. Sekali lagi aku sadar keterbatasan tingkat emosi masih belia dalam kancah menebarkan khasana, yang reracikan bumbunya pun tidak sesedap berimbang judul, tapi kiranya tidak mematikan rasa. Tidakkah jalan-jalan dilalui, segera terfahamkan yang dimaksud kehidupan. Karena kumpulan ini sejenis buah mentah butuh permenungan, lewat itu faham maksud terharapkan kalimahnya.
Ini selenting percik api sadarkan kulit bermata terkantuk, bukan mencengangkan. Tentu saudara lebih luas pandangan dariku yang baru belajar mengeluarkan beban keinginan. Serta kurangnya dinaya penangkapan harapan terdalam, maka belumlah terangkat jernih. Tapi sungguh niatannya berhasrat kelestarian alam, berimbangnya masyarakat kesampingkan salah faham menuju kebaikan. Para insan berkedudukan saling tukar informasi, menambah kandungan keadaban. Impian berjembatan menyatukan pandangan yang menampilkan berita perbaikan, bukan percabang jiwa.
Agustus 2006, lamongan, Jawa. *) dijumput dari pengantar buku Trilogi Kesadaran.
No comments:
Post a Comment