baris-baris hujan terus menerus bersuara, seperti lantunan sagata di kejauhan. ada yang menggenang dan mengalir, ada yang seketika resap ke balik tanah, menguarkan aroma perjumpaan yang syahdu.
di beranda, seorang perempuan menenun tapis . sesekali matanya memperhatikan bunga-bunga air yang kuncup-mekar di pekarangan dan yang berkejaran menuju selokan.
di dalam kamar, sang suami lelap tertidur, ada hujan lain yang jatuh di dadanya, ada rasa nyeri yang ingin dilupakannya. hingga sore menjadi basah dan suara-suara hujan yang berlarian di pekarangan bagaikan simfoni yang meluruhkan bunga-bunga kopi.
perempuan yang menenun perlahan disergap dingin, hatinya dipenuhi bunga mekar dan matanya bagaikan kaca yang tertimpa cahaya. lalu perlahan ia gerakkan jemari tangan, ia putar badan dengan kepala menantang langit. ada isyarat samar yang melarikan jiwanya, maka ia menari.
suara-suara hujan terus berdatangan, semakin ramai, hingga membentuk pasukan kabut dari kejauhan.
“kita memang tertimpa hujan yang sama, namun hujan itu terjatuh dan menari di dada yang berbeda”
Tanjungkarang, 2010
No comments:
Post a Comment