di sebuah musim yang mungkin biasa saja
kau akan tiba pada gigil peristiwa di mana
orang-orang dengan dada ringkih tak lagi
merasa lengkap
saat itu, pintu rumah akan lebih sering terkunci
orang-orang akan membanting kursi, membakar
bantal guling sambil sesekali mengintip bulan
dari balik tirai jendela yang setengah terbuka
kau atau pun aku, mungkin akan kehilangan
suara asli karena tenggorokan kita begitu sesak
dengan kata-kata yang tak sempat terlantun
sebagai sebait pantun
lalu perlahan kau akan memasuki tiap pintu
yang kubiarkan terbuka, akan kutandai semua
harta pusaka di tubuhku hingga kita akan merasa
telah saling mencintai sekaligus melupakan
akan menjadi silamlah seluruh sajak leluhur
yang sempat kaubaca di bandar kota ini
sementara ada pintu lain di tubuhku
yang masih terkunci, tak bisa kaumasuki
aku akan berlari menembus hujan
singgah di sebuah kafe,
memesan secangkir teh hangat
sambil mengirimimu sederet pesan;
tafsirlah sendiri yang berharga dari senda gurau
karena sesekali, aku ingin berjalan tanpa kamu
menapaki jalanan selepas hujan
menepuk bahu setiap orang di selasar pasar
mencari alamat yang tak pernah pasti
serta memaknai yang tak terkatakan dalam puisi
di meja yang telah disinggahi ratusan remaja
akan kubacakan kilasan peristiwa yang biasa
hingga setiap yang datang akan memesan menu masa silam
dengan sedikit rayuan cengeng dan cerita adat yang pucat
kepada pelayan kafe aku akan bercerita tentang kamu
tenunan tapis, aroma bunga kopi dan lantunan sagata*)
mungkin pelayan itu akan menuangkan air mata di gelasku
lalu berujar, maafkan anak saya, dia memang seorang penyair
barangkali pelayan itu adalah leluhurmu, Tanjungkarang.
Bandar Lampung, Maret 2009
*) sagata: adalah salah satu jenis puisi/pantun tradisi Lampung yang lazim di kalangan etnik Lampung digunakan dalam acara-acara yang sifatnya bersukaria
No comments:
Post a Comment