Select Your Language

Translate Your Language Here
English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Monday, May 21, 2012

Puisi Fitri Yani

Jurnal Nasional | Minggu, 20 May 2012


Ubud

aku tak bisa menafsir cuaca di kota ini
apalagi mengekalkannya di gelas minuman
yang kau sajikan
sementara para pendatang
bagaikan lebah-lebah
yang membangun sarang
dan kerajaan

aku berjalan di selasar pasar
mencari tanda yang kelak kuceritakan padamu:
lingkaran bunga kamboja
hijau sawah yang termenung
gemericik air
di sebersit sajak

namun aku melihat wajah kota lain
yang menyimpan rahasia dan masa lalu.

beberapa perempuan berjalan
menuju pura
aku melintasi mereka sambil berdoa
semoga pintu langit terbuka
semoga pohon-pohon berbunga

malam, rembulan rebah di kafe-kafe
wangi dupa merebak dari sudut-sudut ruang
ada juga suara sungai
yang dibiarkan mengalir begitu saja
di dada para pendatang

pesta-pesta tercipta di jalan sempit
lampu-lampu menyala di mata para penari
sementara tubuhku memelihara percakapan
bagi yang menetap dan yang pulang

malam menyusut
tubuh-tubuh kusut rebah di dada para wanita
meneguhkan mimpi
melekatkan nama
seperti kerumun embun
memeluk daun-daun

ketika harum dupa cempaka
mulai menguar di udara
jalan-jalan meredup
aku kembali
memunguti pecahan-pecahan garam
di sepanjang jalan pulang:
wajah anak-anak eropa
guguran bunga kamboja
juga gelas kosongmu
yang abadi.

(Ubud, Oktober 2011)


Pemetik Bunga

ka, kebersamaan kita menjelma cermin yang retak. aku tak lagi melihat sesuatu yang utuh di wajahmu. berulangkali aku berusaha meletakkan tanganku di situ, berulangkali pula tanganku berdarah. sementara kau kian mengabur dari pandanganku. aku membayangkan matamu sembab. mengutuki peristiwa yang barangkali tak kau kehendaki. di sinilah mestinya kau mengerti, apa yang layak dan patut disimpan. seperti rajutan kain yang memiliki jalinannya sendiri, sedikit saja kita salah memintalnya maka hancurlah.

ka, apa yang bisa kuterjemahkan dari perpisahan yang seharusnya tak pernah ada. bukankah kita sama-sama merekam setiap upacara dan ritual menjelang kita dewasa. bahkan sebagian dari diriku aku ikhlaskan untuk melengkapimu. sungguh aku tak mampu menjawabnya. kata-kataku tiba-tiba saja membeku. dan aku merasa ingin muntah.

kita lahir di rumah yang sama meski dari rahim yang berbeda. aku gemar sekali melihatmu menari, sementara kau kecanduan larik-larik puisiku. senja terkadang merona di pipimu setiap kali kukatakan aku jatuh cinta pada kekasihku. aku juga masih ingat beberapa mimpimu yang kau simpan di sebuah kotak hijau, tahukah kau, kotak itu masih terpajang di antara rak buku yang tak beraturan.

akulah yang selalu mendengar makian-makianmu terhadap ketidakadilan, membelai rambutmu yang makin panjang itu. ah, hujan memang sering sekali turun di matamu tanpa mengenal musim. aku hafal air matamu bahkan rasanya yang sedikit tawar. remah-remah hidupmu bertaburan bagai bunga kamboja di tanah makam. aku pun mencatat siapa saja yang meninggalkan tanda di tubuhmu, namun mengapa kau sembunyi dan diam-diam mencuri mata kekasihku. sehingga ia kepayahan menemukan jalan pulang.

ka, mengapa begini sulit memaafkanmu. malam ini aku terjaga hingga pagi, entah apa yang mencuri rasa kantukku. aku lelah menangis, paru-paruku menyempit. kau tahu, bukan hanya kehilangan yang paling kutakutkan, tapi juga suara-suara yang tak henti membaca mantra di kepalaku, yang menghisap sel-sel darahku. aku terus mengusirnya tapi suara-suara itu teramat kuat. aku kalah.

aku tak bisa membelokkan cerita ini, sebab peristiwa selalu dibatasi waktu. kini hiburlah dirimu dengan kebaikan-kebaikan. bunga yang kau tanam di kebun yang tak seharusnya kau masuki telah mati dengan sendirinya, namun entah mengapa bunga itu tumbuh kian rimbun di ingatanku.

aku pergi dengan kereta malam yang penuh kekecewaan. mengunjungi seorang teman yang matanya seteduh subuh. bulan akan basah karena rindu, namun awan-awan selalu pandai menutupinya, bukan. begitu pula dengan padi-padi di sawah yang menguning, tentu pandai merunduk dengan sendirinya.

(Juli, 2011)


Seekor Burung

ia berusaha mengepakkan sayapnya
sebab pedih dan dendam terpelihara
amat sentosa
kuku-kukunya meruncing
matanya setajam ilalang

hari demi hari, waktu demi waktu
ia obati luka di dalam dadanya
luka yang sehitam tengah malam

ia selalu percaya
apa yang dirawatnya pasti akan dewasa
dan cahaya tak pernah terjatuh sia-sia

hari demi hari, waktu demi waktu
sayapnya makin sempurna
sementara di langit
awan-awan menjanjikan perjalanan
yang tenang

(Juli, 2011)


Rutinitas

apa yang pertama kali kau ingat
ketika bangun pagi
berangkat kerja, pergi belanja
atau mengunjungi kawan lama
lalu tergesa-gesa menghindari cahaya

kau tidur lagi, kemudian bangun
makan di restoran, menemui kenalan
meneguk sepi hingga mabuk
letih yang biasa
tanpa sempat bermimpi bersama puisi

aku tak jauh berbeda
bangun pagi bersama tumpukan buku
segelas kopi dan sebungkus kretek
lalu pergi ke gedung-gedung pertunjukan
atau galeri lukisan

kepalaku dipenuhi kata-kata
mataku diselimuti pertunjukan demi pertunjukan
lalu mabuk bersama beberapa kenalan
di pojok kafetaria
ah, letih yang biasa
tanpa sempat memasuki ruang puisi

(Juli, 2011)

Sungai

“hidup adalah cerita yang tak habis-habis‘
ujar sungai yang alirannya bagitu tenang

batu-batu yang menyimpan kesetiaan
hanya diam sambil membenarkan

“perjalanan hanyalah lintasan
kenangan dan harapan‘ ujar jembatan
yang tubuhnya tengah dilintasi dua jenis manusia

para ikan yang riang berenang
merasa biasa-biasa saja, sebab bagi mereka
keadaan memang tak pernah tetap

“bukankah ini permulaan‘
ujar daun jambu yang terapung
pada sebuah pagi.

(Juli, 2011)

Penyimpan Gerbang

aku tulang rusuk
yang menyimpan gerbang

di mataku api berkobar
dari cerita purba yang sama

ribuan cuaca tertiup ke tubuhku
menghuni lembah-lembah dan bukit curam
yang tak pernah terjamah matahari

mengentalkan air-air suci
yang tak berhulu-hilir di lorong nadi

kau musafir pagi
yang membuka pintu demi pintu di dadaku
agar cahaya itu sampai

sementara malam tetap menyimpan
gerbang lain
yang tak akan pernah selesai
kau masuki

dan ketika mulutmu memuntahkan
cairan pekat yang serupa bulir-bulir cahaya
gerbang pertama akan terbuka
mahkota akan luruh
mataku menjelma subuh

barangkali kau akan terjatuh di lembah itu
lupa pada silsilah
atau menjadi begitu megah.

(September, 2011)


Sumber: http://www.jurnas.com/halaman/27/2012-05-20/209055

No comments:

Post a Comment

quotes

what is more beautiful than night/ and someone in your arms/ that's what we love about art/ it seems to prefer us and stays—Frank O'Hara