Alnagi
selalu
kau bangunkan aku dengan sepi dan api
padahal
belum tunai mimpi terbuai
di
malam yang gulita
katakan
padaku
bagaimana
bertahan dari resapan air hujan
jika
setangkup atap pun
sudah
tak ada
bukankah
buliran air
setitik-titiknya
akan
mengalir juga dari lubuk mata
berpendaran
di bumi
menumbuhkan
benih yang suci
katakan
padaku
bagaimana
rupa cahaya yang ditiupkan
pada
segumpal darah,
mengapa
tiba-tiba hadir
dalam
rupa
yang
tak kukenali
katakanlah
bahwa
gelap adalah nyata
agar
ketika sampai waktuku
melepasmu
mataku
akan meredup
lalu
diresapi air hujan yang datang berkala
sebab
kau adalah daun-daun
yang
terlepas begitu saja dari tanganku
dan
tanganku adalah ranting patah
meski
sama-sama kita luruh
namun
tubuhmu
tak
kuasa kusentuh
"kaulah
tunas pertama
yang
tumbuh di musim kemarau"
(Agustus,
2011)
Cerita untuk Ibu
sekali
waktu
aku
ingin berjalan di tengah kota
di
mana para remajanya kehilangan bahasa
akan
kuceritakan kepada ibuku
tentang
gedung-gedung yang memakai siger1)
patung-patung
berkebaya
juga
warna-warna lampu jalan
yang
di kampungku tak pernah ada
barangkali
saja ibuku akan terhibur
di
tengah kemarau yang melanda dadanya
kemarau
yang mengeringkan bait-bait pantun
serta
menerbangkan suara-suara sagata2)
di
tengah kota
kenangan
terbingkai sebagai isyarat
bagi
semua upacara yang sempat dirawat
sementara
ibuku
yang
terkurung di ujung kampung
menatap
matahari terbenam di rumah panggung
(September,
2011)
1)
siger: mahkota adat Lampung untuk pengantin wanita
2)
sagata: Jenis puisi tradisi Lampung yang lazim di kalangan etnik
Lampung digunakan dalam acara-acara yang sifatnya bersukaria.
Perjamuan Sekejap
jika
bukan malam ini, kapan lagi
kita
berbagi cahaya lampu
bertukar
puisi sambil bersulang
merayakan
kemerdekaan
kemerdekaan
antara duka dan bahagia
kemerdekaan
atas gelap dan cahaya
waktu
bagai musim gugur
yang
merontokkan setiap pertemuan
kekosongan
demi kekosongan
tak
pernah lengkap terisi
perjalanan
demi perjalanan
menubi
datang dan menepi
maka
sajikanlah secawan purnama
untuk
malam yang terlalu sederhana
terlalu
purba.
(September,
2011)
Magrib
patung
batu putih
menyerupai
seorang raja
dengan
kudanya
memandang
jalan raya
yang
memerah
dari
ranting pohon
ada
yang menyaksikan
orang-orang
bergegas
ke
sebuah rumah berkubah
lalu
berdoa
sementara
di langit
ada
yang pulang sendiri-sendiri
(2010-2011)
------------
Fitri Yani, lahir 28 Februari 1986. Alumnus FKIP
Universitas Lampung. Tinggal di Bandar Lampung. Karyanya dimuat di berbagai
media dan antologi bersama. Buku puisinya, Dermaga Tak Bernama (2010).
Sumber: www.lampungpost.com
No comments:
Post a Comment