Koran Tempo, 06 Juni 2010
Abu dan Asap Rokok
lemah tatapan abu kepada asap rokok itu
seperti hujan yang melepaskanku dari pelukanmu
di separuh tubuh yang masih menyala
jatuhlah engkau yang tak lagi utuh
menarilah aku, asap yang tak ingin menetap
tak akan kusalahkah sang api
ketika sebatang tubuh itu
perlahan kehilangan raga
sehingga terciptalah kita
karena bagi sang apilah
maaf dan restuku tertuju
bukankah kita akan selalu bersama, katamu
namun aku tak pernah yakin kita akan utuh
dalam satu tubuh
kau atau pun aku mau tak mau
mesti merelakan segalanya menjadi wajar
mungkin kau tak lagi merasa lengkap
setelah jatuh di lantai yang mengkilap
tapi itu hanya akan terasa sebentar, percayalah
ada peristiwa lain yang akan mengembalikanmu
kepada tanah, tempat yang lebih sabar
ketimbang mimbar masjid
yang menampung setiap khotbah
sementara aku,
akan segera lenyap di dingin pagi
nanti, saat tiba di awan, akan kubujuk hujan
agar membuatmu menyatu pula dengan tempat lain
kau selalu diam dalam sejarah masa silam, mengapa?
adakah hujan jatuh pada musim yang salah, tuan?
Bandarlampung, Juli 2009
Air dan Tanah yang Dijumpainya
tanah selalu memintaku diam
setiap kali ia kujumpai
”menggenanglah,
barangkali di tubuhku kau akan bahagia”
ujarnya
padahal sifatku adalah mengalir
dan menafsir liukan luka di tubuhnya
mencari jalan pulang
meski sesekali terhenti di kelokan
”apalah beda sebuah dunia bagimu
bila hulu dan hilir terlahir
sebagai dirimu sendiri”
bagiku, awal dan akhir
ada pada matahari
ketika dua matahari
jatuh di batas samudera
dan ombak membuka diri
memanggil para penunggang pagi
“berulangkali kau terlahir
dan kita selalu bertemu”
karenanya, aku selalu meninggalkan jejak
bagi tubuhnya. menumbuhkan segala
yang dikandungnya
aku mendengar dzikir musafir
yang mengalun di padang pasir
Tanjungkarang, 2009
No comments:
Post a Comment