Bunga Matahari di Tengah
Hujan
Cerpen Fitri Yani
Hampir seluruh tanaman di taman
itu adalah bunga matahari. Ada juga sebatang akasia di dekat pintu masuk dan
sebuah kedai yang menjual minuman serta makanan ringan. Kedai itu dibuat dari
kayu mahoni dengan atap ijuk enau, diplitur dan dicat cokelat tua sehingga
tampak klasik dan bersih. Seorang lelaki muda di dalamnya sendiri membaca surat
kabar sambil sesekali memperhatikan hujan yang jatuh di kelopak-kelopak bunga
matahari. Di tengah-tengah taman, di dekat sebuah pohon besar yang usianya
hampir seratus tahun, terdapat replika kapal terdampar yang di sekelilingnya
dipagar dengan rantai. Ketika sore hari dan cuaca cerah, selalu ada anggota
keluarga yang duduk di pinggirnya, menyeruput es krim sambil berfoto. Mereka
menyukai bunga-bunga matahari yang sedang mekar dan rumput-rumput teki yang
bersih di sekitar replika kapal.
Ara dan Juan sedang berteduh di
sebuah pondok di pingir taman. Bunga-bunga matahari tampak seperti sekelompok
penari balet yang sedang berbaris di atas panggung. Kepala mereka
bergerak-gerak mengikuti irama musik, sesekali menghentak dan membungkuk.
Tangan-tangan mereka terkulai dan saling menggapai satu sama lain.
Ara duduk memain-mainkan daun
kering yang ia pungut dari atas rumput di bawah kakinya. Di sebelahnya, Juan
sedang membaca, dan di sebelahnya lagi, sebuah tas punggung hitam disenderkan
pada bangku semen.
“Aku ingin makan sesuatu, cokelat misalnya,” kata Ara.
“Nanti saja, masih hujan,” balas
Juan tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.
“Aku mau ke kedai, mau beli makanan dan minuman.”
Juan tetap membaca, sesekali
membalik halaman buku yang salmpulnya berwarna bitu tua.
“Hujannya masih deras,” kata
Juan.
Ara beranjak dari bangku dan meninggalkan
Juan dengan bacaanya. Laki-laki muda pemilik kedai meletakkan surat kabarnya
saat melihat Ara berlari-lari kecil sambil menutup kepalanya dengan telapak
tangan. Ia melepas kacamatanya dan menawarkan sekotak tisu ketika Ara telah
tiba di kedainya.
“Terima kasih,” ujar Ara sambil
meraih tisu. “Saya mau beli cokelat hitam.”
“Iya, ada.”
Laki-laki itu membuka lemari kaca
di sampingnya, mengambil sebatang cokelat.
Ara menepis pelipisnya yang kena
air hujan, memperhatikan laki-laki itu dengan detail. Ara terkesan pada mata
lelah dan rambutnya yang ditata acak, tampak cerdas dan hangat.
“Aku juga ingin coca-cola,”
tambah Ara.
Setelah menerima cokelat dan
sebotol minuman, ia mengucapkan terima kasih lalu berbalik membelakangi kedai.
Hujan turun kian deras. Beberapa anak kecil telanjang dada berlari-lari bermain
hujan di tengah taman. Di kejauhan, Juan masih tekun di dengan bukunya. Ara
menengadah, beberapa awan bergerombol di atas sana, seakan langit sedang
tertidur dalam kedinginan.
“Hujannya lumayan deras,” kata
laki-laki itu.
“Iya, kami terjebak dan tak bisa
pulang.”
Keduanya kini berdiri
berdampingan di dekat tiang penyangga yang letaknya merapat ke dinding, tidak jauh
dari bangku tempat laki-laki itu tadi membaca surat kabar, dan menghadap ke
arah bunga-bunga matahari yang diterpa hujan.
“Sepertinya kamu sering datang
kemari.”
“Iya, dulu, tapi sudah lama
sekali,” kata Ara. “Bunga-bunga matahari ini selalu dirawat dengan baik ya.”
“Begitulah,” ujar si lelaki.
“Aku jadi ingat sebuah dongeng
tentang bunga matahari,” kata Ara, ia membuka minuman kalengnya lalu
menyeruputnya pelan-pelan.
“Apa kau sedang mengingat dongeng
Yunani?”
Ara menatap ke arah si lelaki,
“Kau juga tahu?”
Si lelaki kontan tersenyum.
“Ya, kau ingat, Nimfa[1]
yang bernama Clytie,” kata si lelaki. “Ia jatuh cinta pada Dewa Matahari
bernama Helios dan rela memandangi Helios selama delapan hari delapan malam
tanpa makan, minum ataupun tidur.”
“Meskipun Helios tak membalas
cintanya, ah, sungguh malang,” gumam Ara.
“Dan di hari ke sembilan, dari
kaki Clytie tumbuh akar dan tubuhnya berubah menjadi batang tanaman,” kata si
lelaki. “Wajahnya perlahan-lahan menjadi bunga yang anggun dan selalu menghadap
matahari.”
Mereka sama-sama tertawa. Seorang
perempuan melintas di jalan, mantel hujan yang ia kenakan nampak mengkilap. Tak
lama, si lelaki kembali ke dalam kedai lalu keluar dengan sebuah payung.
“Pakai saja payung ini,” katanya.
Ara menatap ke arah si lelaki.
“Kau tidak boleh basah seperti
bunga-bunga matahari itu,” tambah si lelaki penjaga kedai.
Ara menatap kosong ke tempat Juan
sedang berteduh lalu menerima payung tersebut, “Terima kasih,” katanya.
Ia melangkah menyeberangi taman
sambil memutar-mutarkan payungnya. Payung hijau muda itu terlihat seperti
kincir angin yang dipasang di atap-atap rumah bercorak Eropa. Ia berputar tidak
lambat dan tidak terlalu cepat. Di tengah hujan, kincir itu tetap berputar
memercikkan bulir-bulir air. Laki-laki penjaga kedai mengamatinya hingga payung
itu kembali menguncup.
“Sudah beli cokelatnya?” tanya
Juan saat melihat Ara sudah duduk lagi di sampingnya.
“Iya,” kata Ara, meletakkan
payung di pinggir bangku semen.
Juan masih membaca.
“Aku beli coklat hitam dan coca-cola,”
kata Ara. “Apa kau mau?”
“Tidak. Terima kasih.”
“Apa tidak mau coba sedikit?”
“Ya nanti saja.”
Ara melihat sebentar ke buku
Juan.
“Ceritanya seru ya?”
“Ya, tentu saja,” kata Juan. “Ceritanya
cukup menegangkan.”
Ara membuka bungkus cokelat, lalu
memakannya sedikit-sedikit.
“Coklat ini enak sekali,”
katanya.
Juan tetap membaca dan tidak
memperdulikan apa yang dikatakan kekasihnya.
Ara meletakkan sisa minumannya di
meja, lalu berdiri dan berjalan ke depan memperhatikan hujan yang semakin deras
sambil merasakan pahit cokelat di lidahnya. Rasa pahit itu mengingatkannya pada
suasana pagi tadi ketika Juan tiba-tiba mengajaknya ke taman untuk memotret
bunga-bunga matahari sambil menikmati akhir pekan. Tapi hujan menahan mereka
hingga sore begini.
“Bagaimana kalau hujannya tidak
berhenti sampai tengah malam?” tanya Ara.
Juan mengangkat muka dan melihat
Ara sejenak.
“Kita terpaksa pulang
basah-basah.”
“Tapi aku merasa tidak nyaman,”
kata Ara. “Tidak nyaman memakai dress saat sedang hujan. Apalagi kalau
nanti basah, baju dalamku pasti kelihatan.”
Juan berhenti membaca. Melihat
pakaian yang dikenakan Ara, “Kau bisa pakai jaketku nanti,” katanya.
“Tapi aku ingin menunggu hujan
reda.”
“Terserah padamu saja,” ujar
Juan. Lalu matanya tertuju ke sudut bangku, “Payung siapa ini?”
“Laki-laki di kedai itu
meminjamkannya untukku.”
“Tidak baik pinjam-pinjam
begitu.”
“Iya, nanti kukembalikan, lagi
pula dia tidak tega melihatku kebasahan.”
Ara menadahkan tangannya ke
depan, membasahi telapak tangannya dengan air hujan dari atap. Lampu-lampu
jalan mulai menyala, juga lampu di depan kedai milik si lelaki. Cahayanya
terlihat kabur, mengingatkan Ara pada ratusan lilin yang dinyalakan di atas
sungai di India.
“Ayo kita pulang, hujannya tidak
akan berhenti,” kata Juan. Ia mengemasi buku-bukunya.
“Nanti saja, aku suka di sini,”
sahut Ara.
“Kapan-kapan kita bisa ke sini
lagi.”
“Tapi itu beda momennya.”
“Ya, tapi kita harus pulang
sekarang,” ujar Juan.
Ara menatap Juan tanpa berkata
apa-apa. Tubuhnya telah lebih dulu menggigil sebelum berada di bawah hujan,
seperti bunga-bunga matahari yang daun-daunnya telah terkulai. Dari kedai si
lelaki mengalun lagu Rolling
Stones, The Place is Empty.
Bandarlampung, 2014
[1]Nimfa dalam mitologi Yunani
adalah salah satu kaum dari makhluk legendaris yang berwujud wanita, tinggal di
tempat-tempat tertentu dan menyatu dengan alam.